Penulis : Robert Lacey
Penerbit : Hutchinson, 2009
Halaman : 404
Apakah raja Arab Saudi yang sekarang Adullah bin Abdul Azis al-Saud yang memerintah sejak 1 Agustus 2005 seorang Wahhabi? Bukannya tidak mungkin jika kita merunut sejarah raja-raja Arab dan mulai berkembangnya paham Wahhabisme di Arab Saudi. Konon, nenek moyangnya raja Abdullah Muhammad Ibnu Saud adalah penganut Wahhabi yang pertama.
Sejarah berkembangnya paham Wahhabi dimulai dari Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. Muhammad Ibnu Abdul Wahhab lahir pada tahun 1115 H, atau sekitar 1703-4 M. Beliau sudah hapal Al-Quran pada masa kanak-kanaknya. Ketika remaja, dia pergi ke Mekkah dan Medinah, sebelum melanjutkan perjalanan ke Basra, Iraq untuk belajar agama. Pada saat dia tiba di di daerah Qaseem, utara Iraq, yang kering dan tandus pada tahun 1153 H (1740 H), dia menemukan bahwa ajaran Islam telah banyak disimpangkan. Orang-orang banyak berpaling pada kubah, makam, bahkan pada batu, gua dan pohon sebagai tempat keramat untuk meminta; mereka berpakaian mewah merokok cerutu dan berpesta menyanyi dan menari yang tidak sesuai dengan kemurnian ajaran Al-Quran.
Ibnu Abdul Wahhab mengutuk perbuatan ini sebagai syirik. Dia menghimbau agar mereka kembali ke keutamaan ajaran Islam ‘tiada tuhan selain Allah’. Dia memimpin kampanye untuk menghentikan musik dan menghancurkan kubah-kubah dan makam yang dikeramatkan. Dia menyebut dirinya dan pengikutnya muwahhiduun yang berarti hanya bertuhan satu (Allah). Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dan para pengikutnya tidak menganggap mereka menganut satu aliran tertentu dalam Islam–mereka hanya berusaha menegakkan ajaran Islam yang secara murni dan mendasar. Akan tetapi para penantang mereka menyebut mereka Wahhabi, dan banyak penduduk kota Nejed menolak ajakan mereka, dan menganggap ajakan itu sebagai mengganggu kesenangan.
Kemudian, datanglah penganut Wahhabi pertama Muhammad Ibnu Saud, seoarng pemimpin ambisius dari Dariyah, sebuah kota oasis kecil dekat kota oasis Riyadh yang lebih kecil lagi. Dari sinilah sejarah itu dimulai. Pada tahun 1157 H (1733 M), kedua Muhammad ini menandatangani sebuah pakta. Ibnu Saud akan melindungi dan ikut menyebarkan ajaran-ajaran yang keras dalam misi Wahhabi, yang menetapkan Al-Quran sebagai dasar pemerintahan. Sebagai imbalannya, Abdul Wahhab akan mendukung sang raja, memberinya ‘kejayaan dan kekuatan’. Siapa pun yang menjunjung tinggi ajarannya, dia berjanji, ‘akan, oleh karenanya, menguasai tanah dan manusianya’.
Dan hal itu pun terbukti. Pada tahun berikutnya Abdul Wahhab memproklamirkan jihad, untuk membersihkan Arabia, dan setelah melewati beberapa kampanye yang banyak menumpahkan darah, tentara Wahhabi berhasil masuk Mekkah pada tahun 1803 M (1218 H), memperlebar kekuasan Saudi dari Teluk Persia sampai Laut Merah. Ketika itu, House of Saud menguasai lebih banyak wilayah daripada AS.
Kerajaan belum berakhir. Pasukan Mesir dan Turki memasuki Nejed atas perintah kaisar Ottoman untuk menghukum para pengikut Wahhabi atas presumsinya itu. Pada tahun 1818 M (1233 H), para penyerbu membawa meriam ke kota Dariyah dan membombardir temboknya yang terbuat dari tanah. Akan tetapi aliansi Saudi-Wahhabi terbukti cukup kuat untuk bertahan, baik atas serbuan yang memalukan ini, maupun dalam perang saudara pada abad ke sembilan belas berikutnya, untuk kemudian kembali berjaya pada abad modern pada masa pemerintah Abdul aziz Ibnu Saud (cicitnya Muhammad Ibnu Saud) (ayahandanya raja Abdullah yang sekarang). Dalam Saudi Arabia baru ini, Al-Quran memerintah sebagaimana dia memerintah di Dariyah dulu, dan paham Wahhabisme masih tetap sama–hanya percaya pada Allah; menolak segala bentuk idola dan pengganti Tuhan buatan manusia; menegakkan kemurnian cara hidup Islami yang sederhana; dan menegakkan kebenaran dan menjauhi kebatilan.
***
Inside The Kingdom tidak khusus membahas soal Wahhabisme dan perkembangannya di Arab Saudi. Buku ini menyajikan fakta-fakta seputar pemerintahan dan raja-raja Arab Saudi, mulai dari merebaknya paham Wahhabisme pada awal abad ke-18, dimulainya eksplorasi minyak oleh AS pada tahun 1930-an, penyanderaan Masjidil Haram oleh Juhayman Al-Otaybi dan para pengikutnya pada tahun 1979, keterlibatan Arab Saudi dalam perang teluk pada tahun 1990, hingga perkembangan AL-Qaeda bersama Osama Bin Laden. Tak lupa, juga soal keistimewaan hubungan Arab Saudi-AS.
Inside The Kingdom ditulis dari sudut pandang sinisme khas orang barat terhadap bangsa Arab. Dalam buku ini, banyak ditemukan cynical remarks pengarangnya atas cara raja-raja Arab Saudi menjalankan pemerintahan, bahkan mengenai penampilan fisik sang raja itu sendiri, sesuatu yang tabu bahkan untuk dibicarakan secara lisan. Robert Lacey adalah penulis buku The kingdom (1981). Buku yang dia sebut sekuel dari Inside The Kingdom ini meledak di Timur Tengah pada awal tahun 80-an, tetapi dilarang beredar di Arab Saudi, sebelum akhirnya dihentikan penerbitannya.***
0 comments:
Post a Comment