Artefak-artefak
batu hasil temuan terbaru mengisyaratkan bahwa manusia meninggalkan Afrika
melalui Semenanjung Arabia (jazirah Arab) bukannya melalui wilayah pesisir (coasts), sebagaimana yang selama ini
diperkirakan, kata para peneliti.
Manusia modern pertama kali
muncul sekitar 200.000 tahun yang lalu di Afrika. Kapan dan bagaimana nenek
moyang kita ini kemudian menyebar ke seluruh permukaan Bumi telah lama menjadi
kontroversi, namun para ahli genetika pernah mengisyaratkan eksodus ini terjadi
sekitar antara 40.000 hingga 70.000 tahun yang lalu. Teori terbaru yang
diterima adalah bahwa eksodus dari Afrika terjadi melaui pesisir Arabia (Arabia ’s shores), bukannya melalui wilayah pedalaman
yang sekarang dikenal kering.
Akan tetapi, artefak-artefak
batu yang berusia sekurangnya 100.000 tahun yang berasal dari Gurun Pasir Arab,
yang ditemukan bulan Januari 2011, mengisyaratkan bahwa manusia boleh jadi
mulai meninggalkan Afrika dan menyebar di permukaan Bumi ini lebih awal
daripada yang pernah kita perkirakan.
Belakangan ini, lebih dari
100 situs-situs temuan baru di Kesultanan Oman tampaknya mengkonfirmasi bahwa
manusia modern mulai meninggalkan Afrika melaui Arabia jauh sebelum seperti
yang diperkirakan berdasarkan bukti-bukti genetik.
“Setelah satu dekade penelusuran
di wilayah selatan Arabia untuk mencari beberapa petunjuk yang bisa dijadikan
alat untuk memahami ekspansi manusia tahap awal, pada akhirnya, setelah melaui
pencarian yang melelahkan, kita telah menemukan jejak pertanda (smoking gun) keluarnya mereka dari Afrika,”
kata peneliti kepala Jeffrey Rose, seorang arkeolog paleolitik pada Universitas
Birmingham di Inggris. “Yang membuat hal ini menjadi menarik adalah bahwa
jawabannya merupakan sebuah skenario yang hampir tidak pernah kita perkirakan.”
Artefak Arab
Tim arkeolog dan geolog internasional
mendapatkan penemuan mereka di Pegunungan Dhofar di selatan Oman , yang
terletak di sudut sebelah selatan Semenanjung Arab.
“Hipotesis ekspansi pesisir
ini tampak masuk akal di atas kertas, namun tidak ada bukti-bukti arkeologis
yang mendukung,” kata peneliti Anthony Marks dari Universitas Southern
Methodist, mengacu pada fakta bahwa eksodus melalui wilayah pesisir, di mana
terdapat akses terhadap sumber-sumber daya alam seperti makanan laut, memang
lebih masuk akal daripada melalui wilayah gurun.
Di hari terakhir sesi
lapangan 2010 dari penelitian tersebut, para ilmuwan menemukan tempat terakhir
dalam daftar mereka, sebuah situs yang terletak di dataran tinggi yang kering, panas
dan berangin, di dekat sungai yang dipenuhi oleh artefak-artefak batu yang
berserakan. Artefak-artefak seperti itu umum terdapat di Afrika, namun yang
biasanya ditemukan adalah artefak yang usianya relatif muda. Setelah diteliti
dengan lebih saksama, Rose bertanya, “Oh my God, ini adalah artefak bangsa Nubia
(Nubian)—mengapa ini terdapat di
sini?”
100 hingga 200 artefak yang
mereka temukan di sana berbentuk yang digolongkan sebagai peralatan bangsa
Nubia Jaman Batu Pertengahan (Nubian Middle
Stone Age), yang dikenal banyak terdapat di Lembah Nil, yang diperkirakan
berusia 74.000 hingga 128.000 tahun. Para
ilmuwan menduga para pemahat jaman itu membentuk artefak-artefak tersebut
dengan cara menempa potongan-potongan batu, yang menghasilkan benda-benda
berbentuk segi tiga yang luar biasa. Ini adalah kali pertama artefak seperti
itu ditemukan di luar Afrika.
Penelitian lapangan lanjutan
menemukan lusinan situs-situs yang mempunyai artefak sejenis. Dengan
menggunakan teknik yang dikenal sebagai optically
stimulated luminescence dating (penanggalan berdasarkan pendaran cahaya
yang distimulasikan secara optik), yang mengukur jumlah cahaya hingga yang
terkecil yang bisa terpancar dari benda-benda yang terkubur sejak lama, untuk
mengetahui berapa lama benda-benda tersebut telah terkubur, para peneliti
memperkirakan artefak-artefak tersebut berusia sekitar 106.000 tahun, sesuai
dengan perkiraan usia artefak bangsa Nubia Jaman Batu Pertengahan dan jauh
lebih awal dari penanggalan eksodus dari Afrika yang konvensional.
“Ini semua sangat menarik,”
kata Rose.
Keturunan Arab?
Menemukan sekian banyak bukti
kehidupan di tempat yang sekarang merupakan gurun yang relatif gersang
membuktikan betapa penelitian lapangan itu penting, kata para peneliti.
“Di sini kita mempunyai
contoh tidak adanya hubungan antara model-model teoritis versus bukti-bukti
nyata di lapangan,” kata Marks.
Akan tetapi, ketika
artefak-artefak ini dibuat, meskipun dalam keadaam terisolasi, jazirah Arab
ketika itu sangat basah, dengan adanya hujan berlimpah yang jatuh di sepanjang
semenanjung, yang mengubah gurun-gurun pasir gersang menjadi tanah yang subur,
yang menimbulkan padang rumput dengan banyak hewan untuk diburu, kata para
peneliti.
“Untuk sementara, jazirah
Arab Selatan menjadi surga yang hijau yang kaya akan sumber-sumber—perburuan,
air tawar yang berlimpah, dan batu berkualitas tinggi yang bisa digunakan untuk
membuat peralatan batu,” kata Rose.
Bukannya dengan menyisir
wilayah pesisir (coast), manusia
modern awal boleh jadi menyebar dari Afrika menuju Arabia
melalui jalur-jalur sungai yang boleh jadi berfungsi sebagai jalan raya seperti
sekarang, kata para peneliti. Ketika itu boleh jadi terdapat perburuan yang
besar-besaran, seperti rusa, kijang, dan ibexes,
yang boleh jadi menggoda manusia ketika itu untuk melakukan perburuan di padang rumput Afrika.
“Tanda-tanda genetik yang
selama ini telah kita lihat dari eksodus 70.000 tahun yang lalu boleh jadi
bukan eksodus dari Afrika, tapi dari Arab,” kata Rose pada LiveScience.
Sejauh ini para peneliti
belum menemukan sisa-sisa tulang belulang manusia atau hewan lainnya di situs
tersebut. Mungkinkah peralatan ini dibuat oleh nenek moyang manusia yang kini
telah punah seperti makhluk Neanderthal yang meninggalkan Afrika lebih awal dari manusia modern? Tampaknya bukan, kata Rose,
karena semua peralatan bangsa Nubia Jaman Batu Pertengahan yang ditemukan di
Afrika tersebut ada hubungannya dengan nenek moyang kita. [Photos: Our Closest Human Ancestor]
Bagaimana manusia modern awal
dari Afrika menyeberangi Laut Merah masih merupakan sebuah misteri, karena
mereka tampaknya tidak memasuki Semenanjung Arabia dari utara, melalui
Semenanjung Sinai, kata Rose menjelaskan. “Ketika itu, tidak ada daratan
penghubung di selatan Arabia , namun permukaan
laut ketika itu boleh jadi tidak serendah sekarang,” katanya. Para arkeolog akan
meneruskan menyisir gurun di selatan Arabia
untuk mencari tahu lebih banyak lagi tentang apa yang mereka sebut sebagai
sebuah “jejak dari serpihan roti batu” (trail
of stone breadcrumbs).
Follow LiveScience for the
latest in science news and discoveries on Twitter @livescience and onFacebook.
0 comments:
Post a Comment