Saya menolak usia dengan bijaksana. Dengan kata
lain, saya menolak usia sama sekali, selain untuk menghitung tujuan hidup dan
untuk mendapatkan diskon usia, yang tampaknya akan berakhir di gedung-gedung
bioskop dan hotel-hotel pada usia 62—enam tahun lagi. Hal ini berlaku pula pada
sperma saya. Saya berniat untuk menjaga sperma saya agar tetap sehat hingga
usia saya mencapai sembilan puluh, paling tidak. Bukan hanya kebutuhan dari
dalam sistem tubuh saya untuk membuat gen-gen dalam tubuh saya abadi yang memaksa saya untuk membuat opsi yang
terbuka ini; saya tidak mengklaim bahwa gen-gen saya adalah istimewa. Ini lebih
mengenai prinsip dari sesuatu. Membiarkan bagian tubuh saya yang mana saja
melemah hanya karena saya tidak membutuhkannya lagi adalah sebuah perbuatan
yang menyerupai tebing yang licin.
Terus terang, motivasi saya boleh jadi hanya
untuk mencari sensasi, tapi dalam masalah sperma kita semua punya alasan yang
kuat untuk tertarik. Meski bukti-buktinya agak tidak konsisten, namun sebagian
peneliti medis mengisyaratkan bahwa sperma manusia kualitasnya terus menurun
dengan pergerakan yang begitu cepat terutama selama satu abad terkahir ini. Manusia
tampaknya memproduksi sperma dalam jumlah yang lebih sedikit secara rata-rata,
menurut beberapa penelitian, dan sperma yang diproduksi cenderung bersifat subfertile, yang oleh WHO digambarkan sebagai
sperma yang berenang dengan lemah, berbentuk aneh, tidak bisa mencapai
konsentrasi yang lebih tinggi dari 15 juta per milliliter, atau kalau tidak,
berjuang keras untuk dapat membuahi sel telur.
“Kita memproduksi sperma yang cukup jelek dibandingkan
dengan sperma primata atau hewan mamalia yang lain,” kata Gary Cherr, seorang toksikolog reproduktif
pada Universitas California , Davis . “Bahkan manusia yang paling subur
sekalipun, mengalami masalah dengan kualitas spermanya. Sebuah laporan terbaru dari Eropa menemukan bahwa satu dari lima orang muda mengalami
kelemahan sperma. Itulah mungkin salah satu sebabnya mengapa pembuahan in vitro (IVF) kini menjadi semakin
marak, dengan 4 juta manusia di seluruh dunia merupakan hasil dari proses ini.
Ini merupakan sesuatu yang baik dari teknologi
bagi kehidpan kita, kan ?
Well, boleh jadi. Meski merupakan berkah
bagi sekitar 219.000 pasangan Amerika yang mengalami masalah kesuburan yang
yang tak diketahui sebabnya, IVF merupakan sebuah ukuran dan sekaligus
merupakan penyelamat manusia dari kegagalannya mengelola spermanya. Atau
demikianlah tugas dari Harry
Fisch, seorang urolog dan peneliti pada Weill
Cornell Medical College di New York City, yang telah sekian lama mendedikasikan
kariernya untuk menjaga sperma tetap sehat dan kuat, banyak, dan efektif. Dia
percaya bahwa teknologi reproduktif sangat sering menjadi penyelamat yang
nyaman bagi pasangan-pasangan yang menunda kelahiran anak selama mungkin. “Yang
terbaik adalah membuat bayi di dalam kamar,” kata Fisch meyakinkan, “dan jika
para ayah mengharap sperma mereka bisa diandalkan untuk itu, maka mereka perlu
menjaga kesehatan mereka tetap prima.”
Studi-studi tentang epidemiologi telah
menunjukkan bahwa jumlah sperma yang sedikit bukan hanya karena usia tetapi juga dengan keadaan tubuh yang
terlalu kurus, terlalu gemuk , kurang olahraga, kelebihan olahraga, makan makanan
junk food, soda, eksposur terhadap
toksin yang terdapat di dalam makanan dan udara, dan penggunaan obat-obatan
baik yang diresepkan maupun yang tidak diresepkan dokter, termasuk tembakau dan
alkohol. Saya bisa bercerita banyak tentang kesehatan seorang laki-laki
berdasarkan jumlah spermanya dan ukuran perutnya dibandingkan dengan melakukan
test darah seperti yang biasanya dilakukan dokter,” kata Fisch.
Dalam menjaga kepercayaan profesionalnya bahwa “testikel
Anda adalah masa depan Anda,” perawatan garda depan yang diberikan Fisch
memaksa para pasiennya untuk membiasakan diri hidup sehat. Memperbaiki
kebiasaan buruk seorang pria yang tidak subur dan menjauhkannya dari pengobatan
yang sebenarnya tidak dia perlukan—termasuk suplemen testosteron yang kini
semakin populer, yang bisa menciutkan testikel dan menghalangi produksi
sperma—dan sekitar sepertiga dari kasus-kasus yang ada, orang tersebut pada
akhirnya akan mampu melakukan tugas prokreatifnya, kata Fisch.
Sebagai tambahan, sekitar 40 persen dari pria
yang meminta bantuannya mengalami varicoceles,
atau varicose veins (pembuluh mekar) pada
testikel mereka, dan hal ini, juga, bisa menghalangi produksi dan kualitas
sperma. Masalah yang wormy ini bisa
dikoreksi dengan bedah. Infeksi pada prostat atau saluran urin—salah satu blocker sperma lain yang biasanya tidak
terdeteksi—bisa dihilangkan dengan antibiotik atau, dalam beberapa kasus yang
parah, dengan bedah.
Namun sebagian tumpuan kesalahan ada pada
masyarakat dan kegagalan mereka membentuk apa yang disebut kontinjensi biologis
(biological contingencies). Gen-gen
yang mengontrol mesin pembuat sperma semuanya termuat dalam sebuah kromosom
tunggal—kromosom Y, sebuah kromosom yang melambangkan kejantanan. Ketika sebuah
sel terbelah (divide), masing-masing
kromosom berkumpul sesuai jenisnya sehingga jika ada sebuah kromosom yang melenceng
(scramble), maka kromosom tersebut
bisa menggunakan kromosom lain yang sejenis dengannya (counterpart-nya) sebagai acuan (template)
untuk memperbaiki dirinya. Sayangnya, kromosom X tidak banyak mengandung gen
yang bisa memproduksi sperma, sehingga kromosom Y tidak mampu melakukan autocorrect (memeperbaiki diri sendiri).
“Kromosom tersebut terprogram secara molekuler untuk mengalami degradasi (degrade) seiring berjalannya waktu,”
kata Sherman Silber, seorang ahli bedah urologis
dan peneliti yang juga kepala Infertility
Center di St. Louis at St. Luke’s Hospital. Dalam kebanyakan spesies, degradasinya bisa dicegah oleh betinanya yang suka berganti-ganti pasangan pejantan
dan persaingan yang ketat dari para pejantan, yang dengan demikian hanya sperma
yang berkualitas tinggi saja yang bisa membuahi indung telur (an egg) dan mempertahankan DNA mereka.
Kebiasaan manusia yang bermonogami dan tidak adanya persaingan yang ketat
sebelum kawin seperti halnya pada hewan menyebabkan manusia mengalami bencana kormosom Y yang tak
tertanggulangi. Sperma bisa menghilang karena mereka bisa melakukan itu.
Meski teknologi manusia telah berhasil
menanggulangi sebagian dari masalah yang kita hadapi saat ini, namun teknologi
biologis ciptaan alam tidak berbaik hati terhadap sperma jaman modern ini.
sebagai contoh, ada sebuah gen yang melindungi dengan membungkus (outfits) sebuah sperma dengan pakaian
pelindung (armor) yang dibutuhkannya
untuk mengatasi kesulitan yang intens yang mungkin dihadapinya ketika berenang
menuju serviks dan menuju indung telur. Lapisan protein ini mengandung muatan
elektrik, sehingga memungkinkannya mengusir lender serviks (cervical mucus) yang juga mengandung
muatan elektrik dalam jumah yang sedikit., sehingga menimbulkan semacam aksi
pembelahan laut (parting of the sea).
Lapisan (coating) tersebut juga melengkapi
dirnya sendiri dengan molekul-molekul gula yang bisa membutakan antibodi yang
ada pada pada wanita terhadap hakikat sperma yang asing, yang bisa menyebabkan
bencana. “Ini sejenis perangkat Klingon
cloaking,” kata Cherr, yang telah mempelajari coating sperma pada pelbagai jenis hewan mamalia selama
bertahun-tahun (seseorang harus melakukan ini.) Tapi ketika Cherr dan para
koleganya akhir-akhir ini berkumpul untuk meneliti protein pada tubuh manusia,
mereka mendapatkan sebuah kejutan besar: Sekitar seperempat pria tidak memproduksi protein ini dengan
benar karena mereka mempunyai gen
relevan yang mengalami mutasi.
Kurangnya coating
ini tidak dengan sendirinya menyebabkan kegagalan. Hal ini hanya mengurangi
kemampuan pria melakukan konsepsi sebesar kira-kira 12 persen, menurut sebuah
studi tentang 500 pasangan di China .
Namun jika hal ini dihubungkan dengan quality
control lainnya tentang sperma manusia, masalah kemampuan pria menghamili
menjadi lebih dari cukup untuk menurunkan status mereka dari “cukup
memungkinkan” menjadi “tidak mungkin lagi.” Cherr mencatat bahwa “banyak pria
tampak mempunyai sperma yang sehat dalam jumlah yang cukup namun masih tidak
mampu melakukan konsepsi. Saya kira mutasi boleh jadi merupakan penyebab dari
ketidaksuburan yang tak terungkap ini.”
Sehubungan dengan pertanyaan mengapa evolusi
manusia tidak dari dulu menghilangkan duri dalam daging dalam masalah kesuburan
ini, Cherr menduga mutasi boleh jadi juga mendatangkan beberapa manfaat yang
kini masih belum diketahui, yaitu bagaimana cara gen sel sabit (sickle-cell gene) bisa melindungi tubuh
dari malaria dan juga dari resiko penyakit darah lain yang membahayakan. Dalam
banyak hal, sebagian intervensi positif mungkin terjadi di sini. Cherr mengira
cukup mudah untuk membuat versi artifisial dari protein coating (protein pelapis) yang bisa digunakan sebelum melakukan
hubungan seks sebagai sejenis gel prokonseptif.
Bedah boleh jadi menawarkan opsi lain bagi
kira-kira 1 persen pria Amerika yang tampak tidak mampu memproduksi sperma sama
sekali. Dengan menggunakan mikroskop-mikroskop berkekuatan tinggi yang di pasang
pada testikel sang pasien, para dokter fertilitas telah menemukan bahwa kebanyakan
dari para pria ini sebenarnya bisa memproduksi sperma—tapi jumlahnya hanya
sedikit, tidak dalam jumlah jutaan, dan tidak cukup untuk membentuk semen.
Fisch dan Silber telah menguasai teknik memburu (hunting down) apa yang tampaknya merupakan sperma tunggal (lone sperm) dari seorang pria dan memanennya untuk
melakukan implantasi in vitro pada
indung telur.
Langkah berikutnya, kata Silber, memanen sel-sel
induk dari sekitar testikel pria yang tidak mampu memproduksi sperma,
memerkenalkan sel-sel tersebut ke dalam kultur di mana sel-sel berkembang biak,
dan kemudian sel-sel tersebut diimplantasikan kembali ke dalam testikel si pria
tersebut, yang kemudian dikembangkan menjadi produsen sperma yang matang. “Ini
sudah berhasil dijuji coba pada tikus,” kata Silber. Dalam teorinya, sel-sel
induk manusia bisa dipanen dan dibekukan sekarang untuk dicairkan kembali beberapa
tahun atau beberapa dekade yang akan datang, jika proses pematangannya
sempurna. Jadi seorang pria yang berusia 56 tahun—sekedar contoh acak—bisa
mendapatkan sel-sel induk testikelnya diambil dan disimpan, untuk dimanfaatkan
kembali sebagai sperma yang sehat ketika usianya 116 tahun.
Masalah kecil: Silber mencatat bahwa membuat para pria yang tidak
tidak subur mempertahankan gen-gen ketidaksuburan mereka, membuat masalahnya
menjadi semakin dalam. “Saya telah memperhitungkan bahwa jika kita terus
berusaha memecahkan masalah ini, maka dalam 10.000 tahun ke depan tidak akan
ada manusia lagi yang mampu memproduksi sperma,” katanya. Kalau saya sih Ok-Ok
saja. Karena saya tidak mungkin akan hidup 10.000 tahun lagi. Tapi saya tetap
khawatir jika anak cucu saya mengalami masalah seperti ini. (From the November
2011 issue; published online November
8, 2011 )
David H. Freedman is a freelance journalist,
author, and longtime contributor to DISCOVER. You can follow him on Twitter at dhfreedman.
0 comments:
Post a Comment