Setiap orang pasti akan menjawab pertanyaan “Apa yang membuat
manusia menjadi manusia?” dengan cara mereka masing-masing, tapi jika Anda
pernah menjadi mahasiswa seni liberal, mungkin Anda menolak dorongan untuk memberi
jawaban yang biasa diberikan yaitu, “Kemanusiaan.” Mungkin Anda akan memberi
jawaban yang lebih spesifik, dengan mengutip perkataan kritikus Haldane McFall:
“Orang yang hidup tanpa seni hanya setingkat di atas hewan liar di hutan.”
OK, kedengarannya cukup pretensius, tapi apakah Anda salah? Tidak
juga.
Para ahli paleontologi cenderung menghubungkan perkembangan kognisi
manusia modern dengan meningkatnya kemampuan kita mengungkapkan diri kita
sendiri sebagai seniman dan sejarawan melalui lukisan-lukisan di dinding gua, pahatan-pahatan,
dan karya seni prasejarah lainnya. Merepresentasikan dunia dalam simbol-simbol
boleh jadi telah dianggap sebagai awal terbentuknya bahasa. Menciptakan lukisan
dari arang, oker yang mengandung besi, serpihan tulang-tulang hewan, dan urin menunjukkan
adanya pemahaman tentang bagaimana materi bisa digabungkan untuk membentuk hakekat-hakekat
dengan properti yang baru. Dan perbuatan menyimpan lukisan-lukisan
tersebut—mungkin di dalam kulit kerang yang akan ditemukan 100.000 tahun
kemudian di dalam sebuah gua besar di pesisir Afrika Selatan—tentu memerlukan
inovasi dan perencanaan ke depan.
Paling tidak semenjak tahun 1970-an, pertanyaan tentang kapan manusia
pertama kali memperoleh kemanusiaannya telah banyak dikait-kaitkan dengan upaya
pencarian tentang kapan manusia mulai menciptakan lukisan. Richard klein di
Stanford menggunakan ukiran-ukiran seperti Manusia Singa dari Hohlenstein
Stadel (Lion Man of
Hohlenstein Stadel) yang berusia 30.000 tahun untuk membuktikan
teorinya bahwa mutasi genetik telah menyebabkan berkembangnya mental secara tiba-tiba
pada nenek moyang kita sekira 40.000 tahun yang lalu. (Homo Sapiens telah ada sekitar 200.000, tapi tampaknya mereka telah
menghabiskan sebagian besar waktu mereka hanya untuk memutar-mutar ibu jari
mereka.)
Pada tahun 1991, dengan ditemukannya manik-manik yang berusia
77.000 tahun dan serpihan-serpihan oker berwarna merah yang berukir di Afrika
Selatan telah membalikkan hipotesis Klein. Temuan tersebut menunjukkan bahwa
pemikiran simbolis telah muncul jauh lebih awal dari yang diperkirakan
orang—boleh jadi pada saat yang sama dengan berevolusinya tubuh manusia modern
seperti kita. Pendapat yang mengatakan bahwa mutasi genetik telah menyebabkan
segalanya berubah kini tidak laku lagi seiring dengan semakin banyaknya
ditemukannya artefak purbakala.
Pada tahun 2012, Curtis Marean, seorang ahli paleoantropologi di Arizona State University, menyuarakan
kebijakan konvensional ketika dia berkata pada Erin Wayman dari Smithsonian: “Adalah masuk akal bahwa
asal-muasal tingkah laku manusia modern, gabungan penuh dari keunikan modern
yang ada saat ini, sudah ada sejak titik awal dari keberadaan manusia itu
sendiri.
Ada kemungkinan otak kita telah dilengkapi dengan kemampuan
melakukan abstraksi semenjak pertama kali kita menjadi manusia. Namun bagaimana
seni prasejarah membantu kita memahami adanya kapasitas ini—yang sekarang mengejawantah
di mana-mana mulai dari dinding MoMA hingga ikon-ikon yang ada di smartphone kita? Imej-imej yang ada di Lascaux, Nerja, dan gua Chauvet kelihatan jauh dari hiperealistik. Salah
satu penjelasan sederhana menunjukkan bahwa nenek moyang kita tidak mempunyai
waktu dan keahlian untuk menggambar hewan ternak dan kuda seperti apa adanya.
Namun para peneliti di dalam neuroaesthetics
kini mulai bertanya-tanya apakah abstraksi yang ada dalam seni Paleolitik
mencerminkan cara otak kita memproses dunia ini.
Seorang proponen terkemuka dari teori ini adalah V.S.
Ramachandran, direktur Pusat Otak dan Kognisi di UC-San Diego dan pengarang
buku The Tell-Tale Brain: A
Neuroscientist’s Quest for What Makes Us Human. Ramachandran menggarisbawahi 10
prinsip-prinsip estetis yang memicu atau merangsang neuron di dalam visual cortex di dalam otak kita. Salah
satunya, peak shift, yang menggambarkan
cara “kita menemukan distorsi-distorsi yang disengaja dari sebuah stimulus yang
bahkan lebih menarik dari stimulus itu sendiri.”
Peak shift pertama kali ditemukan
oleh ilmuwan Niko Tinbergen pada tahun 1950-an. Dengan memperhatikan bahwa anak
burung camar yang mengetuk-ngetuk paruh induknya supaya diberi makan ikan yang
telah dikunyah, Tinbergen memilih mengisolasi hal-hal mengenai paruh yang
memicu respon seperti ini. Dia menyodorkan paruh palsu pada anak-anak burung
camar—yang dibuat dari kayu yang dicat dengan titik warna merah di ujungnya,
menyerupai titik warna merah yang ada di ujung paruh seekor camar dewasa.
Anak-anak burung camar tersebut kemudian mematuk-matuk dengan bersemangat.
Lalu dia memperlihatkan kembali tongkat kayu yang sama tapi dengan menambah
tiga titik berwarna merah bukan hanya satu. Dan anak-anak burung camar tersebut
mematuk-matuk dengan dengan lebih semangat lagi. Percobaan tersebut menunjukkan
bahwa bayi burung camar mempunyai respon yang berlebihan terhadap stimulus yang
juga berlebihan. Tinbergen menamakan hal ini efek “peak shift” (karena bayi-bayi
burung camar tersebut mematuk-matuk setelah stimulusnya diubah (shifted).)
Pandangan Ramachandran menghubung-hubungkan ketukan-ketukan dari
bayi-bayi burung camar tersebut dengan cara manusia pertama memandang dunia di
sekitar mereka. Jika nenek moyang kita juga terprogram untuk merespon dengan
cara yang lebih intens terhadap stimulus yang diperbesar, maka masuk akal preferensi
serupa itu juga berlaku dalam karya seni mereka. Hampir pasti, lukisan-lukisan
yang ditemukan di dinding gua dari Spanyol hingga Australia memberi tekanan
pada bagian yang paling menonjol dari hewan yang mereka gambarkan; Bison digambarkan
dengan gumpalan daging dengan kaki yang kurus, badak mempunyai cula yang
panjang, beruang adalah binatang yang gemuk dengan rahang yang kuat.
Dan makhluk berbentuk manusia menerima perlakuan essentializing yang sama. Ambil contoh Venus of Willendorf, sebuah ukiran setinggi
11-cm yang ditemukan di Austria pada tahun 1908. Dadanya yang terjumbai,
perutnya yang bengkak, dan alat genitalnya yang menonjol cukup menggambarkan
bagaimana sesungguhnya seorang wanita 25.000 tahun yang lalu. Dia tidak
mempunyai lengan atau fitur-fitur wajah, namun dia tidak membutuhkan itu untuk
menunjukkan kesuburannya. Sebuah patung yang bahkan lebih kuno lagi, Venus of Hohle Fels,
hanya mempunyai tungkai dan kepala: Pesan dari patung tersebut—seks, prokreasi,
dan banyak lagi—ditunjukkan dengan pinggang yang lebar dan sabuk pinggang yang
dipahat secara hati-hati. Para antropolog masih berdebat tentang tujuan dari
pembuatan figur-figur ini.
Apakah benda-benda tersebut merupakan jimat keagamaan, karya seni,
mainan anak-anak, atau mungkin benda porno prasejarah? Satu tim peneliti di
Universitas Victoria di Wellington, Selandia Baru mengisyaratkan bahwa
patung-patung yang bahenol tersebut “melambangkan harapan akan sebuah
masyarakat yang berkecukupan makanan.” Dengan menerjemahkan hal ini ke dalam
istilah-istilah neurosains, Ramachandran berspekulasi bahwa nenek moyang kita suka
merespon tanda-tanda kesehatan dan reproduksi yang berhasil. Mereka hidup
menjelang akhir jaman es terakhir, menghadapi musim dingin yang suram dan
makanan yang langka. Maka tidaklah mengejutkan jika tanda-tanda seorang wanita bayak
atau hamil bisa menyebabkan otak mereka tecerahkan dengan rasa senang dan
perhatian.
Dalam sebuah artikel tentang peak
shift dalam Psychology
Today, Jonah Lehrer menggambarkan sebuah
studi di mana subjeknya bisa lebih siap mengidentifikasi figur-figur yang lebih
terkenal seperti Richard Nixon melalui karikatur kartun dibandingkan dengan
foto. Bagian dari otak yang direkrut untuk mengenali wajah, yang disebut fusiform gyrus, mempunyai keunggulan dalam hal menginterpretasi kualitas-kualitas
yang membedakan satu objek dengan objek lainnya, sampai titik di mana dia lebih
menyukai representasi dari realitas yang agak dipelesetkan. Lehrer
menghubungkan eksperimen Nixon dengan distorsi visioner dari
Picasso, yang lukisannya yang berjudul portrait of Gertrude Stein
“mengintensifkan realitas” melalui sebuah proses tentang abstraksi yang
hati-hati. “Seni adalah kebohongan yang mengungkapkan kebenaran,” tulis Lehrer,
mengutip sang master dalam hal kubisme tersebut.
(Tentu saja, di samping artikel tahun 2009 tersebut di atas lolos
pertimbangan keakuratan pada bulan Maret
tahun ini, Lehrer sendiri adalah seorang master dalam bidang pendistorsian
fakta untuk mendapatkan cerita yang lebih menyenangkan dan teratur. Untuk
alasan ini saja, dia dibahas dalam sebuah diskusi yang membahas kepalsuan yang
mempesona otak.)
Seni yang ditemukan di dalam gua memperjelas sebagian dari
kebenaran dari dunia prasejarah: bahwa daging kerbau merupakan bahan makanan
yang lezat; bahwa wanita tampaknya lebih prokreatif secara magis; bahwa
bagian-bagian dari singa yang perlu diperhatikan adalah kepala dan mulutnya.
(Itu juga mengingatkan kita bahwa nenek moyang kita adalah para pemburu yang bengis—sebagian
dari seni gua yang paling diburu menggambarkan hewan yang kini hampir punah
karena ulah manusia, termasuk beruang gua, auroch,
rusa Irlandia, dan badak wol.
Namun peak shift tidak
cukup menjelaskan tentang pola-pola yang aneh yang melapisi sebagian dari
gambar-gambar hewan di dalam Altamira
dan Lascaux—yang terdiri dari
titik-titik yang tersamar, garis-garis, dan kisi-kisi dengan tanpa titik
referensi yang bisa dibaca. Namun kita bisa mengamatinya dari sudut tata bahasa
perseptual yang mempengaruhi pandangan mata manusia, sintaksisnya tentang
bentuk-bentuk dan warna-warna dasar. Mungkin nenek moyang kita menemukan
stimulus ini menyenangkan secara estetis karena neuron mereka akan bangkit demi
melihat pemandangan serupa itu. Namun para peneliti trance states mempunyai teori yang berbeda. Mereka bersikukuh bahwa
pola-pola tersebut sama sekali tidak abstrak. Sebaliknya, pola-pola tersebut
adalah representasi literal dari halusinasi-halusinasi yang dialami oleh si
seniman jauh di dalam gua tersebut.
Pada tahun 2007, seorang psikiater dari London Dominic H. Fftche
mulai melakukan eksperimen dengan sebuah mainan baru ciptaannya. Alat tersebut
menggunakan dioda pemancar cahaya yang dipasangkan pada kacamata (goggles) yang tujuannya untuk memandikan
mata dalam kilatan cahaya yang bisa menciptakan sejenis “white noise” dan
mencegah orang melihat segala sesuatu yang bermakna. Dalam ketiadaan isyarat
visual (visual cues) dari saraf
optik, maka otak akan mengamplifikasikan kebisingan saraf (neural noise) yang ada di dalam otak, sehingga menciptakan
sinyal-sinyal di mana terdapat ketiadaan dan membangkitkan halusinasi. Bahkan
dengan mata tertutup sekalipun, orang masih bisa melihat titik-titik yang
berkilauan, garis-garis, dan garis-garis yang bersilangan—sama seperti yang
terlihat melayang di atas makhluk-makhluk yang ada dalam lukisan di dalam gua-gua
di Eropa.
Wawancara dengan para anggota suku San di Afrika Selatan yang dilakukan
pada abad ke-19 menguatkan dugaan adanya koneksi ini. Hanya 200 tahun lalu,
orang suku San pedalaman menghiasi dinding-dinding di pegunungan Drakensburg
dengan pola-pola abstrak yang menariknya serupa dengan yang ada di Perancis dan Spanyol. Orang-orang
suku tersebut menjelaskan pada pewawancara bahwa mereka memasuki keadaan tidak
sadar (trance) sebelum mereka bisa
menuangkan visi-visi mereka dalam lukisan.
Kisah-kisah mereka tersebut meluncurkan spekulasi bahwa semua titik-titik,
kisi-kisi, dan garis-garis yang berasal dari gua-gua Paleolitik merupakan gambar-gambar
yang dilihat oleh nenek moyang kita yang yang tinggal di gua-gua tersebut yang
kekurangan cahaya di bawah kondisi yang sama. Ironisnya, desain paling abstak
dari era prasejarah boleh jadi malah memerlukan pikiran simbolis yang paling
sedikit.
Jadi apakah itu seni atau hanya sebuah artefak neurosains? Apakah pencapaian
mereka kurang impresif jika manusia purba kala itu menghiasi dinding-dinding
gua dengan bentuk-bentuk yang menggoda dan memperkuat respon otak? Hanya
makhluk Neanderthal yang akan menjawab ya (dan mungkin dengan tanpa kecemburuan
artistik).
Bahwa nenek moyang kita sejak awal dahulu telah berintuisi tentang
aturan-aturan persepsi visual dan secara kreatif menerapkan aturan-aturan tersebut
semestinya bisa menambah kekaguman kita atas hasil karya mereka, bukannya malah
menguranginya. Bagaimanapun juga Picasso tahu bahwa membubuhkan garis-garis kasar
pada wajah Gertrude Stein, hidungnya yang panjang dan matanya yang cacat, bisa
membuat kita terpesona. Sama halnya, apapun maksud dan tujuan mereka,
seniman-seniman prasejarah tersebut telah pada akhirnya menciptakan keindahan
di dalam konteks hukum penglihatan yang kita akui bersama.
Hampir di setiap tempat yang ada seni gua (cave art)-nya di manapun di dunia ini terdapat satu simbol
terakhir: gambar-gambar tangan (outlines of hands),
milik pria, wanita dan anak-anak. Lagi, waktu telah mengaburkan makna. Apakah gambar-gambar
tangan itu merupakan tandatangan? Bagian dari ritual di mana para cenayang atau
pelukis menyatu dengan dinding batu? Mungkin gambar-gambar lima-jari tersebut hanyalah
tanda yang mengatakan, “Saya dulu berada di sini.” Sekarang, karena
lukisan-lukisan tersebut, kita jadi tahu bahwa nenek moyang kita dulu berada di
sini, dan bahwa pikiran mereka tidak jauh berbeda dengan pikiran kita. (By Katy Waldman| Posted Thursday, Oct. 18, 2012, at 9:09 AM ET)
0 comments:
Post a Comment