hot.detik.com |
Saya tidak tahu banyak tentang film ini. Saya tidak pernah
menontonnya di bioskop karena kota
kecil di mana saya tinggal tidak mempunyai gedung bioskop. Saya hanya
mengetahui informasi tentang film ini dari trailer-nya
yang diputar di TV, dan dari berita-berita di surat khabar.
Tapi seandainya saya punya kesempatan untuk menonton film
ini, itu belum tentu akan saya lakukan. Ada
sesuatu yang mematikan hasrat saya, dan menyurutkan langkah saya untuk menonton
film ini.
Saya dengar film ini merupakan adaptasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Ronggeng Dukuh Paruk adalah sebuah
novel besar, bukan sembarang novel. Novel ini pernah mendapat penghargaan dari
pelbagai negara, dan sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa.
Membaca novel ini adalah sebuah kenikmatan berimajinasi. Setting ceritanya sangat dekat dengan
kehidupan nyata rakyat kecil. Deskripsinya memikat, cerdas, dan cermat sehingga
alur ceritanya mudah dinikmati. Di samping itu, novel ini mempunyai bobot ilmu
pengetahuan yang bermanfaat sebagai sebuah pelajaran. Membaca novel ini kita
bisa memetik banyak hikmah, di samping sebagai sebuah kenikmatan sastrawi.
Tapi apakah sebuah film yang diangkat berdasarkan novel ini
akan memberi kenikmatan yang serupa bagi yang menyaksikannya. Entahlah. Saya
ragu apakah pembuat film ini bisa memfilmkan dengan sempurna adegan-adegan
fenomena alam dan binatang yang dengan cermat digambarkan oleh Ahmad Tohari,
juga kesahduan alam, dan suasana mistis yang ditimbulkannya. Kalaupun mereka
bisa, hasilnya tentu tidak akan se-intens deskripsi dalam novelnya.
Menonton film dan membaca novel adalah dua hal yang berbeda.
Keduanya tidak bisa saling menggantikan. Novel yang bagus tidak akan serta
merta menjadi bagus pula ketika diangkat menjadi film.
Membaca novel sifatnya sangat subjektif. Setiap pembaca
berjalan dengan imajinasinya masing-masing yang berbeda-beda dari satu orang ke
orang lainnya. Setiap uraian dalam sebuah novel dinikmati dengan cara yang
berbeda-beda oleh masing-masing pembaca.
Setiap pembaca mempunyai gambaran tersendiri, yang hanya ada
dalam imajinasinya, tentang setting,
watak, dan perawakan para tokoh dalam cerita tersebut. Kenikmatan berimajinasi
secara pribadi inilah yang menyertai setiap novel yang kita baca, dan yang
membuat sebuah novel menjadi enak dibaca.
Dan ketika sebuah novel diangkat menjadi film, warna-warna
imajinasi yang sifatnya subjektif tersebut hilang, berganti menjadi
penggambaran dan warna-warna imajinasi versi pembuat film. Dan ini tidak bisa
ditawar lagi. Ketika menonton sebuah film, penonton tidak mungkin menggunakan
imajinasinya lagi. Mereka terpaku pada apa yang disuguhkan oleh pembuat film.
Ketika duduk di dalam bioskop, imajinasi kita didikte oleh pembuat film.
Jika cerita film yang kita tonton tidak pernah kita baca
sebelumnya tidaklah jadi soal benar karena kita tidak mempunyai imajinasi
apa-apa tentang cerita film tersebut. Lain soal kalau kita menonton film yang
ceritanya pernah kita baca sebelumnya. Dalam hal ini, kita pasti
membanding-bandingkan penggambaran dalam film tersebut dengan imajinasi kita
ketika membaca cerita tersebut. Dan kalau keduanya tidak bersesuaian, kita akan
kecewa.
Itulah sebabnya saya jadi tidak tertarik untuk menonton film
ini. Karakter tokoh utama—Srintil, si penari ronggeng –yang digambarkan dalam
film ini tidak sesuai dengan imajinasi saya ketika membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk. Dalam imajinasi
saya, Srintil adalah seorang tokoh yang njawani,
berwajah Jawa, ber-aura Jawa, berbahasa Jawa, dan beradat Jawa.
Dan dalam imajinasi saya pula, wajah Srintil sama sekali
tidak seperti yang digambarkan dalam film ini. Bagi saya wajah pemeran utama
dalam film ini tidak cocok untuk memerankan Srintil. Dia tidak memiliki
kharisma Srintil dan aura Srintil. Dia adalah orang lain yang sama sekali bukan
Srintil. Dan yang lebih mengecewakan saya, caranya menari, seperti yang saya
lihat dalam trailer-nya di TV, sama
sekali tidak luwes dan kenes seperti gaya
Srintil yang digambarkan Ahmad Tohari.
Ini adalah pendapat saya pribadi, dan tentu saja tidak
mutlak. Orang lain mungkin berpendapat berbeda. Orang lain mungkin setuju
itulah Srintil. Orang lain mungkin mempunyai imajinasi yang sama tentang
Srintil dengan pembuat film ini. Tapi ingat pula, mungkin ada orang lain yang
berpendapat sama dengan saya.
Tapi terlepas dari semua subjektifitas yang seperti itu,
saya ingin mengatakan bahwa membuat film yang berdasarkan cerita novel, apalagi
novel besar seperti Ronggeng Dukuh Paruk tidaklah
mudah karena orang sudah terkooptasi oleh imajinasi mereka masing-masing. Dan
ketika mereka berjalan ke gedung bioskop, mereka mempunyai ekspektasi yang
berbeda-beda, dan jika mereka menemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan imajinasi
mereka, tentu mereka akan kecewa.
0 comments:
Post a Comment