Jika Anda pikir ruang angkasa itu hampa, ternyata di sana ada sesuatu yang
lebih banyak dari yang bisa kita lihat dengan mata—debu (dust), misalnya, ada di mana-mana. Jika semua material yang
terdapat di antara Matahari dan Jupiter dikompres secara bersama-sama maka akan
terbentuk sebuah bulan dengan keliling 25 km. Kini ada sebuah penelitian
terbaru yang akan mencoba mencari tahu berapa banyak debu-debu ruang angkasa
ini yang memasuki atmosfir bumi dan dampaknya terhadap perubahan iklim.
Logam-logam yang berasal dari debu kosmis
memainkan peran dalam pelbagai fenomena yang mempengaruh iklim Bumi kita.
Sebuah perkiraan yang akurat tentang debu juga akan membantu kita memahami
bagaimana partikel-partikel debu ditransportasikan melalui atmosfir Bumi yang
berlapis-lapis. Profesor John Plane dari Universitas Leeds mempresentasikan
proyek yang diberi nama Debu Kosmis dalam Atmosfir Terestrial (Cosmic
Dust in the Terrestrial Atmosphere (CODITA))
pada hari Jumat 30 Maret, 2012 di dalam pertemuan National Astronomy di Manchester, Inggris.
CODITA telah menerima hibah sebesar €2.5 juta dari Badan
Penelitian Eropa (European Research
Council) untuk meneliti input debu selama 5 tahun ke depan. Tim
internasional tersebut, yang diketuai oleh Plane, terdiri dari 11 ilmuwan di
Leeds dan 10 kelompok penelitian lanjutan di AS dan Jerman.
“Jika input debu sekitar 200 ton per hari, maka
partikel-partikel debu yang ditansportasikan melalui atmosfer tengah boleh jadi
lebih cepat dari yang kita kira; jika angka 5 ton itu benar, maka kita perlu
secara substansial merevisi pemahaman kita tentang bagaimana debu berevolusi di
dalam Sistem Tata Surya dan ditansportasikan dari atmosfer tengah ke atmosfer permukaan,”
kata Plane.
Sumber debu utama di dalam Sistem Tata Surya adalah tabrakan
antara asteroids, dan material-material yang memuai dari komet ketika komet tersebut mendekati
matahari. Ketika partikel-partikel debu mendekati Bumi mereka memasuki atmosfer
dengan kecepatan yang sangat tinggi, antara 38.000 hingga 24.000 kilometer per
jam, tergantung pada apakah debu-debu tersebut mengorbit dalam arah yang sama
atau berlawanan dengan gerak Bumi mengelilingi Bulan.
Partikel-partikel debu tersebut mengalami pemanasan yang
sangat cepat ketika bertabrakan dengan molekul-molekul udara, hingga mencapai
temperatur di atas 1600 derajat Celsius. Pada titik ini debu-debu tersebut
mencair dan menguap (evaporate).
Partikel-partikel debu yang diameternya sekitar 2 milimeter melepas material yang
cukup untuk memproduksi meteor-meteor yang bisa dilihat dengan mata, atau yang
biasa disebut “shooting stars” (bintang jatuh). Namun kebanyakan massa dari
partikel-partikel debu yang memasuki atmosfer jauh lebih kecil, sehingga hanya bisa
dideteksi dengan menggunakan radar meteor khusus.
“Kita punya sebuah conundrum—perkiraan
berapa banyak debu yang timbul dengan variasi faktor seratus,” kata Plane.
“Tujuan CODITA adalah untuk memecahkan diskrepansi yang besar ini.
Pengamatan satelit mengisyaratkan bahwa sekitar 100-300 ton
debu kosmis (cosmic dust)
memasuki atmosfer setiap harinya. Angka ini sesuai dengan rata-rata akumulasi inti
es kutup (polar ice cores) dan
sedimen-sedimen dasar laut yang mengandung elemen-elemen langka yang
berhubungan dengan debu kosmis, seperti iridium dan osmium.
Akan tetapi, pengukuran di dalam atmosfir bumi
mengindikasikan bahwa input debu kosmis hanya sekitar 5 ton per hari.
Pengukuran ini memasukkan pengamatan radar meteor, pengamatan laser tentang
sodium dan atom-atom besi yang berasal dari debu yang menguap di atmosfir
bagian atas, dan pengukuran oleh pesawat dari ketinggian tentang besi
meteoritik yang terdapat di dalam stratosfer bawah.
Logam-logam yang terinjeksi ke dalam atmosfer yang berasal dari
partikel-partikel debu yang menguap termasuk dalam rangkaian fenomena yang
berhubungan dengan perubahan iklim.
“Debu kosmis dihubung-hubungkan dengan terbentuknya awan-awan
‘noctilucent’—awan tertinggi di atmosfer Bumi. Partikel-partikel debu menyediakan
tempat permukaan bagi terbentuknya kristal-kristal es dari awan tersebut.
Awan-awan ini terbentuk pada musim panas di wilayah kutup dan tampak sebagai
sebuah indikator perubahan iklim,’ kata Plane. “Logam-logam yang berasal dari
debu tersebut juga mempengaruhi kimia ozon di dalam stratosfer. Jumlah debu yang
ada akan menjadi penting bagi prakarsa Ilmu Bumi (geo-engineering initiatives) untuk meningkatkan aerosol sulfat untuk
mengatasi pemanasan global. Debu kosmis juga menyuburkan laut dengan zat besi (iron), yang mempunyai feedback yang potensial bagi iklim
karena fitoplankton laut mengeluarkan gas-gas yang berhubungan dengan iklim.
“Awan noctilucent adalah fenomena yang relatif baru,” kata
Gary Thomas, seorang profesor di Universitas Colorado
yang mempelajari NCLs. “Awan-awan tersebut pertama kali terlihat pada tahun
1885” sekitar dua tahun setelah meletusnya gunung Krakatau
yang menyemburkan debu vulkanis setinggi 180 km di dalam atmosfer Bumi. Debu
dari gunung berapi Indonesia
tersebut menciptakan sunset yang
sangat mempesona di seluruh dunia ketika itu sehingga banyak orang meluangkan
waktunya di sore hari untuk melihat langit.
Salah seorang pengamat langit yang penting, seorang Jerman
bernama T.W. Backhouse yang sering dianggap sebagai penemu awan noctilucent, memperhatikan sesuatu yang
aneh ketika itu. Dia keluar rumah setelah matahari tenggelam dan, pada beberapa
malam, dia menyaksikan filamen-filamen yang tipis yang mengilaukan cahaya biru
elektris di atas langit yang hitam. Para
ilmuwan ketika itu memperkirakan hal itu merupakan manifestasi yang menarik
dari debu vulkanis. Akhirnya debu vulkanis sirna dan sunset Krakatau
yang menawan itu menghilang. Tapi awan noctilucent tetap ada hingga saat ini.
“Hal ini mengundang teka-teki,” kata Thomas. “Awan noctilucent tidak hanya tetap bertahan, tetapi bahkan juga
menyebar.”
Satu abad lalu awan tersebut terperangkap pada latitude di atas
50o; Anda harus pergi ke tempat-tempat seperti Skandinavia, Rusia dan Inggris
untuk melihatnya. Pada tahun-tahun belakangan ini awan tersebut telah terlihat
pula hingga sejauh Utah selatan dan Colorado .
Tim CODITA juga akan menggunakan fasilitas-fasilitas
laboratorium untuk menangani aspek-aspek permasalahan yang paling sulit
dimengerti.
“Di dalam laboratorium, kami akan mengamati hakikat dari
penguapan (evaporation) debu kosmis, dan juga formasi partikel-partikel asap
meteorik, yang berperan dalam terbentuknya nukleasi es (ice nucleation) dan awan-awan stratosferik kutub yang mencapai
titik beku,” kata Plane menjelaskan. “Hasilnya akan disatukan ke dalam model
kimia-iklim (chemistry-climate model)
dari semua atmosfer. Sehingga nanti memungkinkan, untuk pertama kalinya, untuk
membuat sebuah model dari dampak-dampak debu kosmis secara konsisten dari
Sistem Tata Surya hingga ke permukaan Bumi.”
The Daily Galaxy via The Royal
Astronomical Society and science.nasa.gov
The image at the top of the page courtsey of
neizvestniy-geniy
0 comments:
Post a Comment