'Pulang,' 'Lebay,' dan 'Too Much Drama'


 Pulang--LEILA S CHUDORI
Apa yang Anda ekspek ketika mendengar judul ‘pulang’. Tentu di dalam benak Anda tergambar sebuah perjalanan panjang. Sebuah perjalanan dari awal hingga akhir, yang di dalamnya penuh liku-liku, suka dan duka, dan berakhir dengan si tokoh utama menemukan nasipnya, baik atau buruk, suka atau duka, bahagia atau derita.

Pulang adalah sebuah simpul. Sebuah muara dari sebuah petualangan. Sebuah akhir dari jalan yang penuh liku. Sebuah tempat di mana segala suka dan duka, jatuh dan bangun, dan kepahitan dan kegetiran berakhir. Pulang menyimpan banyak sekali cerita di belakangnya. Cerita-cerita itulah yang diekspektasi orang ketika mendengar sebuah novel yang berjudul ‘pulang’. Oleh karena itu banyak sekali novel, cerita pendek, dan film yang diberi judul ‘pulang’. Karya Leila S Chudori ini adalah salah satunya.

Pulangnya Leila ini menceritakan petualangan sekelompok eksil politik yang terdampar di beberapa negara di luar negeri dan tidak bisa pulang lagi ke Indonesia setelah G 30 S/PKI meletus tahun 1965. Di dalam kelompok itu terdapat Dimas Suryo, Nugroho, Risjaf, dan Tjai. Dimas, Nugroho, dan Risjaf sedang berada di Santiago, Chili ketika G 30 S/PKI meletus. Sedangkan Tjai sedang berada di Singapura. Dinilai dari kegiatan yang sedang mereka ikuti waktu itu mereka diguga terlibat dalam PKI. Merasa ketakutan dan terancam, mereka tidak berani pulang. Apalagi berita-berita dari dalam negeri tentang anggota PKI sungguh mengerikan. 

Dari Chili mereka pergi ke Kuba, dan dari Kuba mereka pindah ke China. Setelah bertahan selama tiga tahun di China mereka memutuskan untuk pindah ke Prancis. Di Prancis-lah petualangan itu dimulai. Dan dari Prancis-lah mereka akhirnya pulang, meski salah satunya, Dimas Suryo, dalam keadaan tak bernyawa.

***

Di Paris, Prancis, mereka berempat mendirikan sebuah restoran Indonesia yang diberi nama Tanah Air. Di restoran inilah mereka menunjukkan eksistensinya sebagai eksil politik di negeri orang, yang meski berada jauh dari Indonesia namun mereka tetap dikucilkan dalam pergaulan sehari-hari. Restoran mereka disebut Restoran PKI dan para pejabat Orde Baru menolak makan di sana. Dalam acara-acara yang diselenggarakan KBRI mereka tidak pernah diundang, dan bahkan ditolak masuk.

Tekanan dari pemerintah RI terus mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Sering kali ada intel yang masuk ke restoran mereka dan menginterogasi, mencurigai kalau-kalau mereka melakukan kegiatan yang mengarah pada politik.

Tekanan itu tidak hanya dirasakan oleh mereka saja, keempat eksil politik yang disebut Pilar Tanah Air itu, tapi anak-anak mereka pun ikut merasakannya. Lintang, anak Dimas Suryo hasil perkawinannya dengan Vivienne perempuan Prancis yang dia temui di Universitas Sorbonne dan kemudian menjadi istrinya, pun merasakannya. Ketika menghadiri acara peringatan Hari Kartini di KBRI Paris, atas ajakan Narayana pacarnya yang juga berdarah Indonesia, Lintang merasa dipojokkan dan dikucilkan oleh ibu-ibu KBRI.

Namun tekanan yang paling berat dirasakan oleh sanak kerabat mereka yang masih tinggal di tanah air, yang dalam kehidupan mereka sehari-hari selalu dihina dan dilecehkan oleh teman-teman sekolah mereka. Alam, anak Hananto salah seorang kerabat dari Dimas Suryo terpaksa harus sering-sering berkelahi dengan teman-teman sekolahnya karena merasa dilecehkan. Rama, anak Aji adik Dimas Suryo,  adalah anak yang melankolis, yang menghadapi semua tekanan itu dengan sangat sensitif, dan berusaha menyimpan identitasnya sebagai anak orang yang terlibat PKI rapat-rapat.

***

Secara keseluruhan, Leila berhasil memotret kehidupan keluarga mereka yang terlibat G 30 S/PKI dan keluarga eksil politik di luar negeri itu dengan sangat akurat. Berbekal bacaannya yang sangat luas, Leila berhasil menggambarkan suasana Beijing, Paris tahun 1968, dan Jakarta setelah G 30 S/PKI dengan meyakinkan.

Dan bukan Leila namanya jika menulis hanya memaparkan substansi—seperti menulis naskah pidato, katanya. Gaya bahasa dan metafora Leila sungguh menawan. Kalau karya sastra diukur dari bahasanya semata, novel ini adalah sebuah novel sastra.

Namun ada beberapa hal yang mengganggu ketika saya membaca novel ini. Beberapa hal tampak klise dan tidak masuk akal, selain kurun waktu yang melompat-lompat dari masa kini ke masa silam, yang mengganggu kenyamanan membaca, yang ditandai dengan cetak miring untuk menceritakan flashback ke masa silam, dan pengungkapan melalui surat yang terasa berlebih-lebihan hanya untuk memperkuat efek dramatisasi.

Beberapa hal yang saya maksud adalah:
  1. Setelah Narayana, pacar Lintang, mengundang Dimas Suryo, ayah Lintang, makan siang di sebuah restoran nan romantis di Brussel, Belgia, sebagai upacara pekenalan mereka, Dimas Suryo mencak-mencak. Pada Lintang dia mengatakan bahwa Narayana adalah seorang yang pretensius. “Dia anak orang kaya, borjuasi yang mudah mendapatkan apa saja tanpa perjuangan. Mengendarai mobil, makan di restoran atau bistro termahal di Eropa. Bayangkan, bertemu dengan Ayah saja kita harus jauh-jauh ke Brussel. Apa tidak pretensius?” (halaman 177). Duhai, kalau hal itu pretensius, kenapakah Dimas mau saja diajak pergi sejauh itu? Bukankah untuk menyetujui dan mengabulkan permintaan itu dia mesti berpikir dari jauh-jauh hari? Dan bukankah tempat acara makan siang, sebuah restoran yang romantis dan berjarak sekian jauh dari Paris, itu saja sudah cukup menunjukkan bahwa dia pretensius?
  1. Lintang yang lahir dan besar di Prancis dan belum pernah ke Indonesia satu kalipun ternyata sangat fasih berbahasa Indonesia. Apakah mungkin seorang anak yang tumbuh dan besar di Prancis dengan salah satu orang tua berasal dari Indonesia (hanya salah satu) bisa dengan sangat lancar berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, dengan orang Indonesia pula. Kecuali anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang eksklusif, yang kedua orang tuanya berbahasa asing yang sama, atau kedua orang tuanya semuanya berasal dari negara yang sama, anak diplomat asing, anak businessman asing, anak yang bersekolah di sekolah asing di Indonesia, saya banyak mengamati anak-anak blasteran yang lahir dan besar di Indonesia yang salah satu orang tua berasal dari luar negeri. Anak-anak tersebut hanya fasih berbahasa Indonesia, dengan hanya sedikit kemampuan berbahasa asing. Sedangkan Lintang bukanlah anak dengan lingkungan yang eksklusif seperti di atas. Dia anak orang biasa. Anak  orang kebanyakan yang hanya salah satu orang tuanya berbahasa Indonesia. Dan bahasa Indonesia Lintang dalam cerita ini bukanlah bahasa Prancis yang diterjemahkan, melainkan memang bahasa Indonesia asli. Terbukti, beberapa istilah tetap dipertahankan dalam bahasa Prancis dan Inggris, dalam kalimat langsung yang asli diucapkan Lintang. Dan terbukti dia ada mencatat beberapa istilah bahasa Indonesia yang belum pernah dia dengar, istilah-istilah yang bahkan untuk orang Indonesia-pun kadang-kadang asing, seperti koit, ngehe, nyokap.  
  1. Keberadaan surat-surat lama Dimas Suryo yang tetap utuh dan lengkap, yang demikian rapi tersimpan hingga puluhan tahun, setelah dibawa pindah ke sana ke mari, dari satu tempat ke tempat lain, dari satu negara ke negara lain, adalah sebuah realitas yang dipaksakan untuk kepentingan pengungkapan dan dramatisasi, sesuatu yang klise dan membosankan bagi mereka yang banyak membaca novel-novel petualangan. Apalagi jam tangan Titoni 12 jewels pemberian Hananto kepada Dimas ketika dia mau berangkat ke Santigo itu juga masih utuh, tidak hilang atau rusak setelah 30 tahun lebih melalui petualangan, melewati rintangan dan serba kekerasan yang nyaris tiap hari mereka temui.  
  1. Pada bagian awal, gaya bahasa dalam novel ini rasanya seperti gaya bahasa novel-novel terjemahan. Sepertinya Leila memang sengaja mengarahkan gayanya ke sana, ke novel-novel luar negeri, untuk memikat pembaca luar negeri, apalagi setting dan idiom-idiom yang digunakan dalam novel ini banyak yang asli luar negeri.
  1. Ending cerita ini terasa lebay dan too much drama. Pulang dan kematian adalah klimaks yang diinginkan Leila untuk mengakhiri cerita ini. Sebuah ending yang, lagi, klise dan membosankan. Kepulangan Dimas Suryo dalam peti mati sengaja dibuat untuk menggambarkan betapa pedihnya petualangan para eksil politik. Betapa kedukaan itu teramat dalam. Betapa dramatis. Apalagi sebelum kematiannya Dimas Suryo menulis sepucuk surat yang demikian menggugah, pilu, yang berisi pesan agar dia dimakamkan di Karet (daerahku y.a.d. mengutip Chairil Anwar). Duh, klise, klise …. Ending seperti ini mengingatkan saya pada sebuah novelette Leila yang berjudul Seorang Kawan yang dia tulis untuk majalah anak-anak Kawanku ketika dia masih remaja dahulu. Ending yang sama persis di mana sang tokoh utama menulis sepucuk surat yang pilu sesaat sebelum kematiannya akibat penyakit yang dideritanya. Tapi itu sudah sekian lama. Ternyata Leila masih menyukai ending seperti ini. Untunglah Lintang digambarkan kembali kepelukan Nara setelah jatuh cinta lokasi dengan Alam selama petualangannya di Jakarta. Kalau tidak benar-benar lebay dan too much drama.***

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger