'Nonton Parabola'


‘Nonton Parabola’ adalah istilah yang pernah berlaku di Krui, Lampung Barat, pada awal tahun 90-an. Ketika itu sedang marak-maraknya siaran TV swasta, seiring dengan kemunculan stasiun TV swasta seperti SCTV, TPI, ANTV, Indosiar, dll, yang hanya bisa ditangkap dengan menggunakan antenna parabola. Istilah ‘Nonton Parabola’ merujuk pada perbuatan menonton siaran TV yang ditangkap dengan antenna parabola, untuk membedakannya dengan menonton TVRI, yang ditangkap dengan antenna bukan parabola. ‘Menonton Parabola’ bukan hanya berarti menonton siaran TV swasta nasional, melainkan juga termasuk menonton siaran-siaran luar negeri, yang bisa ditangkao dengan antenna parabola, karena antenna parabola selain bisa menangkap siaran TV swasta nasional, juga bisa menangkap siaran luar TV negeri.

Pada tahun 90-an itu, harga antenna parabola masih mahal. Hanya sedikit orang yang bisa membeli antenna yang menyerupai wajan tersebut. Ketika itu, setiap rumah yang ada memasang antenna parabola selalu ramai kedatangan tamu tak diundang, untuk menonton, setiap malam. Siaran yang paling disukai adalah film Mandarin, Kung Fu, baik yang berupa film lepas, maupun film seri. Saya masih ingat, rumah tetangga di belakang rumah saya selalu penuh sesak kedatangan orang dari berbagai penjuru, sampai-sampai yang punya rumah mengalami kesulitan untuk keluar masuk rumahnya sendiri. Tapi untunglah tetangga saya yang satu ini selalu welcome dengan siapa saja yang datang menonton, berapa banyakpun orang yang datang, mereka enjoy aja. Ada juga, sih, tetangga yang agak tertutup, yang merasa jengah kalau rumahnya disesaki pengunjung dengan cara seperti itu.

Memasuki millennium ke-3, abad ke-21 harga antenna parabola masih cukup mahal, sementara jumlah penonton TV tidak berkurang, tentu saja. Pada masa ini timbul ide untuk membuat semacam sentralisasi parabola. Beberapa antenna parabola dipusatkan di suatu tempat, kemudian siarannya disalurkan ke rumah-rumah melalui kabel. Satu antenna digunakan untuk menangkap satu chanel. Jadi kalau ada tujuh chanel TV yang disalurkan, maka harus ada tujuh antenna parabola yang dipasang di sentral. Karena siaran ini disalurkan melalui kabel, maka masyarakat menyebutnya TV kabel. Untuk berlangganan siaran TV kabel ini, masyarakat dikenakan iuran sebesar Rp.10.000 per bulan.

Tapi kini, harga antenna parabola semakin murah, masyarakat lebih suka menggunakan antenna parabola sendiri. Apalagi siaran TV kabel sering kali mengalami gangguan, seperti yang dialami salah satu sentral TV kabel baru-baru ini. Sentral TV kabel ini mengalami kerusakan karena disambar petir, yang membuat siarannya jadi terhenti. Untuk perbaikan, pihak pengelola menarik sumbangan dari para pelanggan. Tapi banyak pelanggan TV kabel keberatan, dan memilih berhenti berlangganan, dan memasang antenna parabola pribadi.

Kini, hanya dengan uang Rp.800.000 orang bisa memasang antenna parabola di rumahnya dan menikmati siaran TV swasta nasional dan siaran luar negeri, sepuasnya. Kalau mencicil, harga antenna parabola bisa mencapai Rp.1.200.000. Harga ini boleh jadi lebih mahal daripada berlangganan TV kabel, tapi kepuasan, kenyamanan, dan eksklusifisme yang diberikannya jauh lebih berharga.

Tampaknya masyarakat Krui masih akan tetap menggunakan antenna parabola untuk menangkap siaran TV untuk jangka waktu panjang, entah sampai kapan. Apalagi kini, siaran TVRI pun sudah tidak bisa ditangkap secara terrestrial. Antenna UHF tidak bisa berfungsi di Kota ini. Letak kota ini yang jauh dari stasiun relay TV swasta tidak memungkinkan antenna UHF bisa menangkap siaran TV swasta tersebut.

Dalam hal ini, tampak masih ada kesenjangan yang besar antara desa dengan kota. Kalau daerah perkotaan umumnya bisa menangkap siaran TV secara terrestrial karena di sana ada stasiun relay TV swasta , sehingga masyarakat kota bisa menonton siaran TV dengan lebih murah, daerah pedesaan masih harus menanggung biaya yang lebih tinggi untuk itu karena harus membeli antenna parabola. Ironis. Dan kesenjangan itu semakin menganga lebar ketika siaran olahraga sekelas Piala Dunia sengaja dihilangkan dari tangkapan antenna parabola, sehingga hanya masyarakat kota yang bisa menonton siaran Piala Dunia. Meski antenna parabola masih tetap bisa menangkap siaran Piala Dunia, tetapi biayanya akan semakin mahal karena harus menggunakan receiver khusus yang berharga lebih mahal. Hal inilah yang membuat masyarakat desa semakin sewot.

Sampai kapankah diskriminasi seperti ini akan tetap berlangsung. Sampai kapankah ironi ini akan tetap berjalan.  Sampai kapankah masyarakat desa yang notabene tingkat kesejahteraannya lebih rendah dari masyarakat kota akan menanggung biaya yang lebih tinggi untuk menonton TV. Bukankah masyarakat desa seharusnya punya hak akses terhadap infromasi yang sama dengan masyarakat kota.

Ini baru soal televisi, yang merupakan sumber informasi termurah, belum mempersoalkan Internet, yang lebih mahal. Kalau ditambah dengan Internet, maka kesenjangan itu akan menganga semakin lebar.

Dan  kalau hal ini berjalan terus, kiranya tidak berlebihan kalau orang mengatakan masyarakat desa terhambat kemajuannya karena tidak diberi akses yang cukup terhadap informasi.***

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger