Lascaux’s Picassos: Ungkapan Seni Prasejarah tentang Evolusi Otak Manusia


SS_121017_HEVO_LauncherCavePaintings
Setiap orang pasti akan menjawab pertanyaan “Apa yang membuat manusia menjadi manusia?” dengan cara mereka masing-masing, tapi jika Anda pernah menjadi mahasiswa seni liberal, mungkin Anda menolak dorongan untuk memberi jawaban yang biasa diberikan yaitu, “Kemanusiaan.” Mungkin Anda akan memberi jawaban yang lebih spesifik, dengan mengutip perkataan kritikus Haldane McFall: “Orang yang hidup tanpa seni hanya setingkat di atas hewan liar di hutan.”

OK, kedengarannya cukup pretensius, tapi apakah Anda salah? Tidak juga.

Para ahli paleontologi cenderung menghubungkan perkembangan kognisi manusia modern dengan meningkatnya kemampuan kita mengungkapkan diri kita sendiri sebagai seniman dan sejarawan melalui lukisan-lukisan di dinding gua, pahatan-pahatan, dan karya seni prasejarah lainnya. Merepresentasikan dunia dalam simbol-simbol boleh jadi telah dianggap sebagai awal terbentuknya bahasa. Menciptakan lukisan dari arang, oker yang mengandung besi, serpihan tulang-tulang hewan, dan urin menunjukkan adanya pemahaman tentang bagaimana materi bisa digabungkan untuk membentuk hakekat-hakekat dengan properti yang baru. Dan perbuatan menyimpan lukisan-lukisan tersebut—mungkin di dalam kulit kerang yang akan ditemukan 100.000 tahun kemudian di dalam sebuah gua besar di pesisir Afrika Selatan—tentu memerlukan inovasi dan perencanaan ke depan.

Paling tidak semenjak tahun 1970-an, pertanyaan tentang kapan manusia pertama kali memperoleh kemanusiaannya telah banyak dikait-kaitkan dengan upaya pencarian tentang kapan manusia mulai menciptakan lukisan. Richard klein di Stanford menggunakan ukiran-ukiran seperti Manusia Singa dari Hohlenstein Stadel (Lion Man of Hohlenstein Stadel) yang berusia 30.000 tahun untuk membuktikan teorinya bahwa mutasi genetik telah menyebabkan berkembangnya mental secara tiba-tiba pada nenek moyang kita sekira 40.000 tahun yang lalu. (Homo Sapiens telah ada sekitar 200.000, tapi tampaknya mereka telah menghabiskan sebagian besar waktu mereka hanya untuk memutar-mutar ibu jari mereka.)

Pada tahun 1991, dengan ditemukannya manik-manik yang berusia 77.000 tahun dan serpihan-serpihan oker berwarna merah yang berukir di Afrika Selatan telah membalikkan hipotesis Klein. Temuan tersebut menunjukkan bahwa pemikiran simbolis telah muncul jauh lebih awal dari yang diperkirakan orang—boleh jadi pada saat yang sama dengan berevolusinya tubuh manusia modern seperti kita. Pendapat yang mengatakan bahwa mutasi genetik telah menyebabkan segalanya berubah kini tidak laku lagi seiring dengan semakin banyaknya ditemukannya artefak purbakala.

Pada tahun 2012, Curtis Marean, seorang ahli paleoantropologi di Arizona State University, menyuarakan kebijakan konvensional ketika dia berkata pada Erin Wayman dari Smithsonian: “Adalah masuk akal bahwa asal-muasal tingkah laku manusia modern, gabungan penuh dari keunikan modern yang ada saat ini, sudah ada sejak titik awal dari keberadaan manusia itu sendiri.

Ada kemungkinan otak kita telah dilengkapi dengan kemampuan melakukan abstraksi semenjak pertama kali kita menjadi manusia. Namun bagaimana seni prasejarah membantu kita memahami adanya kapasitas ini—yang sekarang mengejawantah di mana-mana mulai dari dinding MoMA hingga ikon-ikon yang ada di smartphone kita? Imej-imej yang ada di Lascaux, Nerja, dan gua Chauvet kelihatan jauh dari hiperealistik. Salah satu penjelasan sederhana menunjukkan bahwa nenek moyang kita tidak mempunyai waktu dan keahlian untuk menggambar hewan ternak dan kuda seperti apa adanya. Namun para peneliti di dalam neuroaesthetics kini mulai bertanya-tanya apakah abstraksi yang ada dalam seni Paleolitik mencerminkan cara otak kita memproses dunia ini.

Seorang proponen terkemuka dari teori ini adalah V.S. Ramachandran, direktur Pusat Otak dan Kognisi di UC-San Diego dan pengarang buku The Tell-Tale Brain: A Neuroscientist’s Quest for What Makes Us Human. Ramachandran menggarisbawahi 10 prinsip-prinsip estetis yang memicu atau merangsang neuron di dalam visual cortex di dalam otak kita. Salah satunya, peak shift, yang menggambarkan cara “kita menemukan distorsi-distorsi yang disengaja dari sebuah stimulus yang bahkan lebih menarik dari stimulus itu sendiri.”

Peak shift pertama kali ditemukan oleh ilmuwan Niko Tinbergen pada tahun 1950-an. Dengan memperhatikan bahwa anak burung camar yang mengetuk-ngetuk paruh induknya supaya diberi makan ikan yang telah dikunyah, Tinbergen memilih mengisolasi hal-hal mengenai paruh yang memicu respon seperti ini. Dia menyodorkan paruh palsu pada anak-anak burung camar—yang dibuat dari kayu yang dicat dengan titik warna merah di ujungnya, menyerupai titik warna merah yang ada di ujung paruh seekor camar dewasa. Anak-anak burung camar tersebut kemudian mematuk-matuk dengan bersemangat. Lalu dia memperlihatkan kembali tongkat kayu yang sama tapi dengan menambah tiga titik berwarna merah bukan hanya satu. Dan anak-anak burung camar tersebut mematuk-matuk dengan dengan lebih semangat lagi. Percobaan tersebut menunjukkan bahwa bayi burung camar mempunyai respon yang berlebihan terhadap stimulus yang juga berlebihan. Tinbergen menamakan hal ini efek “peak shift” (karena bayi-bayi burung camar tersebut mematuk-matuk setelah stimulusnya diubah (shifted).)

Pandangan Ramachandran menghubung-hubungkan ketukan-ketukan dari bayi-bayi burung camar tersebut dengan cara manusia pertama memandang dunia di sekitar mereka. Jika nenek moyang kita juga terprogram untuk merespon dengan cara yang lebih intens terhadap stimulus yang diperbesar, maka masuk akal preferensi serupa itu juga berlaku dalam karya seni mereka. Hampir pasti, lukisan-lukisan yang ditemukan di dinding gua dari Spanyol hingga Australia memberi tekanan pada bagian yang paling menonjol dari hewan yang mereka gambarkan; Bison digambarkan dengan gumpalan daging dengan kaki yang kurus, badak mempunyai cula yang panjang, beruang adalah binatang yang gemuk dengan rahang yang kuat.

Dan makhluk berbentuk manusia menerima perlakuan essentializing yang sama. Ambil contoh Venus of Willendorf, sebuah ukiran setinggi 11-cm yang ditemukan di Austria pada tahun 1908. Dadanya yang terjumbai, perutnya yang bengkak, dan alat genitalnya yang menonjol cukup menggambarkan bagaimana sesungguhnya seorang wanita 25.000 tahun yang lalu. Dia tidak mempunyai lengan atau fitur-fitur wajah, namun dia tidak membutuhkan itu untuk menunjukkan kesuburannya. Sebuah patung yang bahkan lebih kuno lagi, Venus of Hohle Fels, hanya mempunyai tungkai dan kepala: Pesan dari patung tersebut—seks, prokreasi, dan banyak lagi—ditunjukkan dengan pinggang yang lebar dan sabuk pinggang yang dipahat secara hati-hati. Para antropolog masih berdebat tentang tujuan dari pembuatan figur-figur ini.

Apakah benda-benda tersebut merupakan jimat keagamaan, karya seni, mainan anak-anak, atau mungkin benda porno prasejarah? Satu tim peneliti di Universitas Victoria di Wellington, Selandia Baru mengisyaratkan bahwa patung-patung yang bahenol tersebut “melambangkan harapan akan sebuah masyarakat yang berkecukupan makanan.” Dengan menerjemahkan hal ini ke dalam istilah-istilah neurosains, Ramachandran berspekulasi bahwa nenek moyang kita suka merespon tanda-tanda kesehatan dan reproduksi yang berhasil. Mereka hidup menjelang akhir jaman es terakhir, menghadapi musim dingin yang suram dan makanan yang langka. Maka tidaklah mengejutkan jika tanda-tanda seorang wanita bayak atau hamil bisa menyebabkan otak mereka tecerahkan dengan rasa senang dan perhatian.

Dalam sebuah artikel tentang peak shift dalam Psychology Today, Jonah Lehrer menggambarkan sebuah studi di mana subjeknya bisa lebih siap mengidentifikasi figur-figur yang lebih terkenal seperti Richard Nixon melalui karikatur kartun dibandingkan dengan foto. Bagian dari otak yang direkrut untuk mengenali wajah, yang disebut fusiform gyrus, mempunyai keunggulan dalam hal menginterpretasi kualitas-kualitas yang membedakan satu objek dengan objek lainnya, sampai titik di mana dia lebih menyukai representasi dari realitas yang agak dipelesetkan. Lehrer menghubungkan eksperimen Nixon dengan distorsi visioner dari Picasso, yang lukisannya yang berjudul portrait of Gertrude Stein “mengintensifkan realitas” melalui sebuah proses tentang abstraksi yang hati-hati. “Seni adalah kebohongan yang mengungkapkan kebenaran,” tulis Lehrer, mengutip sang master dalam hal kubisme tersebut.

(Tentu saja, di samping artikel tahun 2009 tersebut di atas lolos pertimbangan  keakuratan pada bulan Maret tahun ini, Lehrer sendiri adalah seorang master dalam bidang pendistorsian fakta untuk mendapatkan cerita yang lebih menyenangkan dan teratur. Untuk alasan ini saja, dia dibahas dalam sebuah diskusi yang membahas kepalsuan yang mempesona otak.)

Seni yang ditemukan di dalam gua memperjelas sebagian dari kebenaran dari dunia prasejarah: bahwa daging kerbau merupakan bahan makanan yang lezat; bahwa wanita tampaknya lebih prokreatif secara magis; bahwa bagian-bagian dari singa yang perlu diperhatikan adalah kepala dan mulutnya. (Itu juga mengingatkan kita bahwa nenek moyang kita adalah para pemburu yang bengis—sebagian dari seni gua yang paling diburu menggambarkan hewan yang kini hampir punah karena ulah manusia, termasuk beruang gua, auroch, rusa Irlandia, dan badak wol.

Namun peak shift tidak cukup menjelaskan tentang pola-pola yang aneh yang melapisi sebagian dari gambar-gambar hewan di dalam Altamira dan Lascaux—yang terdiri dari titik-titik yang tersamar, garis-garis, dan kisi-kisi dengan tanpa titik referensi yang bisa dibaca. Namun kita bisa mengamatinya dari sudut tata bahasa perseptual yang mempengaruhi pandangan mata manusia, sintaksisnya tentang bentuk-bentuk dan warna-warna dasar. Mungkin nenek moyang kita menemukan stimulus ini menyenangkan secara estetis karena neuron mereka akan bangkit demi melihat pemandangan serupa itu. Namun para peneliti trance states mempunyai teori yang berbeda. Mereka bersikukuh bahwa pola-pola tersebut sama sekali tidak abstrak. Sebaliknya, pola-pola tersebut adalah representasi literal dari halusinasi-halusinasi yang dialami oleh si seniman jauh di dalam gua tersebut.

Pada tahun 2007, seorang psikiater dari London Dominic H. Fftche mulai melakukan eksperimen dengan sebuah mainan baru ciptaannya. Alat tersebut menggunakan dioda pemancar cahaya yang dipasangkan pada kacamata (goggles) yang tujuannya untuk memandikan mata dalam kilatan cahaya yang bisa menciptakan sejenis “white noise” dan mencegah orang melihat segala sesuatu yang bermakna. Dalam ketiadaan isyarat visual (visual cues) dari saraf optik, maka otak akan mengamplifikasikan kebisingan saraf (neural noise) yang ada di dalam otak, sehingga menciptakan sinyal-sinyal di mana terdapat ketiadaan dan membangkitkan halusinasi. Bahkan dengan mata tertutup sekalipun, orang masih bisa melihat titik-titik yang berkilauan, garis-garis, dan garis-garis yang bersilangan—sama seperti yang terlihat melayang di atas makhluk-makhluk yang ada dalam lukisan di dalam gua-gua di Eropa.

Wawancara dengan para anggota suku San di Afrika Selatan yang dilakukan pada abad ke-19 menguatkan dugaan adanya koneksi ini. Hanya 200 tahun lalu, orang suku San pedalaman menghiasi dinding-dinding di pegunungan Drakensburg dengan pola-pola abstrak yang menariknya serupa dengan  yang ada di Perancis dan Spanyol. Orang-orang suku tersebut menjelaskan pada pewawancara bahwa mereka memasuki keadaan tidak sadar (trance) sebelum mereka bisa menuangkan visi-visi mereka dalam lukisan.

Kisah-kisah mereka tersebut meluncurkan spekulasi bahwa semua titik-titik, kisi-kisi, dan garis-garis yang berasal dari gua-gua Paleolitik merupakan gambar-gambar yang dilihat oleh nenek moyang kita yang yang tinggal di gua-gua tersebut yang kekurangan cahaya di bawah kondisi yang sama. Ironisnya, desain paling abstak dari era prasejarah boleh jadi malah memerlukan pikiran simbolis yang paling sedikit.

Jadi apakah itu seni atau hanya sebuah artefak neurosains? Apakah pencapaian mereka kurang impresif jika manusia purba kala itu menghiasi dinding-dinding gua dengan bentuk-bentuk yang menggoda dan memperkuat respon otak? Hanya makhluk Neanderthal yang akan menjawab ya (dan mungkin dengan tanpa kecemburuan artistik).

Bahwa nenek moyang kita sejak awal dahulu telah berintuisi tentang aturan-aturan persepsi visual dan secara kreatif menerapkan aturan-aturan tersebut semestinya bisa menambah kekaguman kita atas hasil karya mereka, bukannya malah menguranginya. Bagaimanapun juga Picasso tahu bahwa membubuhkan garis-garis kasar pada wajah Gertrude Stein, hidungnya yang panjang dan matanya yang cacat, bisa membuat kita terpesona. Sama halnya, apapun maksud dan tujuan mereka, seniman-seniman prasejarah tersebut telah pada akhirnya menciptakan keindahan di dalam konteks hukum penglihatan yang kita akui bersama. 

Hampir di setiap tempat yang ada seni gua (cave art)-nya di manapun di dunia ini terdapat satu simbol terakhir: gambar-gambar tangan (outlines of hands), milik pria, wanita dan anak-anak. Lagi, waktu telah mengaburkan makna. Apakah gambar-gambar tangan itu merupakan tandatangan? Bagian dari ritual di mana para cenayang atau pelukis menyatu dengan dinding batu? Mungkin gambar-gambar lima-jari tersebut hanyalah tanda yang mengatakan, “Saya dulu berada di sini.” Sekarang, karena lukisan-lukisan tersebut, kita jadi tahu bahwa nenek moyang kita dulu berada di sini, dan bahwa pikiran mereka tidak jauh berbeda dengan pikiran kita. (By Katy Waldman| Posted Thursday, Oct. 18, 2012, at 9:09 AM ET)

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger