Lampung Post sering menggunakan istilah “sepeda dayung”. Mendengar istilah ini, pikiran kita tertuju pada sejenis kendaraan roda dua yang digerakkan oleh “dayung”. Tapi, setelah diselidiki, ternyata yang dimaksud “sepeda dayung” adalah, alat transportasi roda dua yang digerakkan oleh tenaga manusia dengan cara mengayuh pedal, alias sepeda biasa.
“Sepeda” (dahulu disebut “kereta angin”), adalah alat transportasi roda dua yang digerakkan oleh tenaga manusia dengan mengayuh pedal. Karena olah budi daya manusia, maka ditemukanlah “motor” dan “listrik” yang bisa digunakan untuk menggerakkan sepeda, sehingga, timbul istilah “sepedamotor”, dan “sepedalistrik”; sampai saat ini, belum ditemukan sejenis “dayung” untuk menggerakkan sepeda, sehingga, belum ada istilah “sepeda dayung”.
Kata “motor” berasal dari bahasa Inggris. Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, kata “motor” berarti, alat yang menggunakan tenaga (khususnya tenaga listrik) untuk memproduksi gerak, tetapi, alat ini, tidak digunakan dalam mesin uap. Alat ini, kemudian, digunakan untuk menggerakkan kendaraan, sehingga, disebut “kendaraan bermotor”. Alat penggerak ini, dalam bahasa Indonesia, kemudian, disebut “mesin penggerak” Jadi, “kendaraan bermotor” adalah kendaraan yang menggunakan mesin penggerak, dan “motor” disebut “mesin penggerak”.
Karena penutur bahasa (manusia) malas menggunakan banyak kata, maka, untuk kepentingan ekonomis, dibuatlah singkatan dan akronim—bahasa Indonesia “diberkahi” oleh banyak sekali singkatan dan akronim—beberapa di antaranya, seperti “radar”, “rudal”, “kloter”, “tilang”, “puskesmas”, “pramuka”, oleh sebagian penuturnya, tidak disadari sebagai akronim.
Dalam bahasa Inggris, “sepedamotor” disebut “motorcycle”. “Motorcycle” dalam bahasa percakapan sehari-hari, disebut “motorbike” (bike berarti sepeda). “Motorbike” sering disingkat “bike”. Singkatan ini masuk akal, karena tidak kehilangan esensinya sebagai alat transportasi roda dua. Sedangkan, dalam bahasa Indonesia, “sepedamotor” sering disingkat “motor”. Singkatan ini tidak masuk akal, karena menghilangkan esensinya sebagai kendaraan roda dua (“motor” bukanlah jenis kendaraan roda dua). Jadi, kalimat, “Mamak Inut pergi ke kantor mengendarai motor”, tidak sama dengan kalimat “Mamak Inut pergi ke kantor mengendarai kendaraan roda dua”, tetapi, sama dengan kalimat “Mamak Inut pergi ke kantor mengendarai mesin penggerak” (ingat, “motor” berarti “mesin penggerak” dan, mesin penggerak sepedamotor itu tidak mempunyai roda). Lebih lucu lagi, kalau istilah “sepedalistrik” disingkat dengan cara yang sama, sehingga terdengar kalimat, “Karnikem pergi ke sekolah mengendarai listrik”.
Di lain pihak, menyingkat “sepedamotor” menjadi “sepeda” (meniru cara Inggris), tampaknya, tidak mungkin, karena orang Indonesia tidak mau kehilangan “motor”-nya, dibandingkan dengan “sepeda”-nya. Sedangkan, penutur bahasa Inggris lebih rela kehilangan “motor”-nya daripada “sepeda”-nya; ini sungguh masuk akal, karena, “sepeda” adalah bagian esensial dari “sepedamotor”; “sepeda” bisa bergerak tanpa “motor”, sedangkan “motor”, tidak bisa bergerak tanpa “sepeda”. Oleh karena itu, menyingkat “sepedamotor” menjadi “motor” adalah hal yang memalukan; penutur bahasa Inggris, mungkin, tertawa dalam hati mendengar singkatan ini.
Ketika seorang penutur bahasa Inggris berkata, “I get around by bike”, lawan bicaranya segera memaklumi bahwa dia bepergian dengan kendaraan roda dua (bukan roda tiga atau roda empat). Lain halnya dengan orang Indonesia, ketika seseorang berkata, “Saya bepergian mengendarai sepeda”, maka, yang terlintas dalam pikiran lawan bicaranya adalah sebuah kendaraan roda dua yang digerakkan oleh tenaga manusia dengan pedal, sembari berkata dalam hati, “Kasian, deh, Lu. Nggak kebeli motor.” Mungkin, karena latar belakang seperti ini, orang Indonesia enggan dan malu menyingkat “sepedamotor” menjadi “sepeda”.
Sebenarnya, kalau kita menyadari hakekat “sepeda” sebagai kendaraan roda dua, kita tidak perlu malu. Karena, toh, kendaraan roda dua itu terdiri dari dua jenis: sepeda dan sepedamotor. Jadi, “sepedamotor” adalah salah satu jenis “sepeda”. Kalau orang menganggap hanya yang tidak bermotor yang pantas disebut “sepeda”, itu adalah kesalahan mereka berpikir.
Singkatan atau akronim, dalam bahasa Indonesia, tampaknya tidak menganut azas tertentu; dibuat sesukanya supaya enak didengar. Seperti “kasek” (kepala sekolah); darimanakah huruf “a” dalam akronim ini? Atau, “yonzippur” (rayon zeni tempur); akronim ini, tampaknya, diambil dari suku kata akhir “rayon”, “zeni”, dan ”tempur”. Tapi, mengapa bukan “yonnipur”? Singkatan atau akronim sebaiknya diambil dari huruf pertama atau suku kata pertama dari setiap kata, atau gabungan dari suku kata pertama dengan suku kata akhir dari kata berikutnya, seperti “ABRI” (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), atau “puskesmas” (pusat kesehatan masyarakat), atau “rusun” (rumah susun). Singkatan kata majemuk seharusnya demikian juga, seperti “ruko” (rumah toko), atau “rukan” (rumah kantor). Jika kata majemuk disingkat dengan mengambil salah satu unsurnya, maka dia akan kehilangan makna “khusus-“nya; bayangkan jika “rumah makan” disingkat “rumah”, atau “rumah sakit” disingkat “sakit”, atau “pesawat terbang” disingkat “pesawat”; “pesawat terbang” tidak bisa disingkat “pesawat”, karena “pesawat terbang” adalah “kapal terbang”, sedangkan, “pesawat” tidak berarti “kapal terbang”; “pesawat” berarti “wahana”, ingat, ada “pesawat telepon”, “pesawat televisi”, “pesawat radio”. Begitu juga, “sepedamotor” tidak bisa disingkat “motor”.
Supaya kita terkesan cerdas berbahasa, sebaiknya “sepedamotor” jangan disingkat “motor” sebagaimana “pesawat terbang” jangan disingkat “pesawat”; gunakan singkatan lain. Atau, jangan disingkat sama sekali. Kalau mau disingkat juga, saya usulkan singkatan baru, yaitu “pedator” untuk “sepedamotor”, dan “pedatrik” untuk “sepedalistrik”. Mau?
0 comments:
Post a Comment