Gempa Bumi Besar Bisa Membuat Gunung Api Terperosok

volcanos from space
Jeff William/International Space Station (ISS) Expedition

Gempa bumi yang besar bisa menggerakkan gunung.

Gempa bumi besar yang melanda Jepang dan Chili pada tahun 2011 dan 2010, masing-masing, telah menyebabkan beberapa gunung api besar terperosok hingga mencapai 6 inci (15 centimeter), menurut laporan dua studi terbaru.

Ini adalah kali pertama para ilmuwan menyaksikan serangkaian gunung berapi terperosok setelah terjadinya gempa bumi. Meski gunung-gunung tersebut berada di seberang Samudera Pasifik, namun terperosoknya kedua gunung tersebut tampak sangat serupa. Kedua tim tersebut mengemukakan penjelasan berbeda tentang mengapa gunung-gunung berapi tersebut bisa terpesosok, menurut studi yang mereka lakukan, yang diterbitkan dalam jurnal Nature Geoscience tanggal 30 Juni. Akan tetapi, kedua kelompok tersebut sepakat bahwa para ilmuwan tampaknya akan bisa menemukan lebih banyak contoh gunung api yang terperosok setelah terjadinya gempa bumi besar, dan menemukan sebuah mekanisme tunggal yang mengontrol proses tersebut.

“Kesamaan yang terdapat pada kedua gunung tersebut adalah sesuatu yang mengagumkan,” kata Matthew Pritchard, seorang ahli geofisika di Cornell University di Ithaca, N.Y., dan kepala pengarang dari salah satu studi. “Saya kira ini cukup membuktikan bahwa kasus serupa ini terjadi di mana-mana.”

Into the deep

Para peneliti terdahulu hingga Charles Darwin telah memperhatikan bahwa gunung berapi kadang-kadang menyemburkan puncaknya setelah gempa bumi. Dan gempa bumi kolosal, seperti gempa bumi Jepang yang bermagnitude 9,0 pada tahun 2012 dan gempa bumi temblor Chili yang bermagnitude 8,8 pada tahun 2010, bisa memicu guncangan kecil pada gunung-gunung berapi yang berjarak ribuan mil jauhnya. Namun kemungkinan adanya hubungan langsung antara gempa bumi dengan letusan gunung api luput dari perhatian para ilmuwan. [7 Craziest Ways Japan's Earthquake Affected Earth]

Setelah gempa Chili dan Jepang, tim riset di balik dua studi terbaru tersebut (masing-masing kelompok bekerja secara independen), ketika itu berencana melacak tanda-tanda akan terjadinya erupsi. Namun bukannya menemukan gunung api yang membuncit—sebuah pertanda bahwa magma sedang naik dari dalam perut bumi—tim tersebut hanya menemukan gunung-gunung yang melorot, atau tidak mengalami perubahan sama sekali. Tidak ada tanda-tanda akan terjadi erupsi ditemukan pada sejumlah gunung api di kedua negara tersebut.

Sebaliknya, gunung api dan kompleks-kompleks kaldera besar serupa dengan yang ada di Yellowstone National Park—sebuah area seluas 9 kali 18 mil (15 kali 30 kilometer)—melorot sedalam 2 hingga 6 inci (5 hingga 15 cm). Masing-masing area berbentuk seperti sebuah oval yang panjang, berbaris paralel menuju pusat gempa di tengah laut yang terletak antara 200 hingga 300 km (antara 125 hingga 185 mil) jauhnya.

Data satelit menunjukkan adanya perbubahan-perubahan tersebut pada kedua tim peneliti.
“Bahkan meski tanpa erupsi yang terlihat, gempa yang besar bisa mempengaruhi gunung api,” kata Youichiro Takada, seorang ahli geofisika di Kyoto University di Jepang dan pengarang kepala dari salah satu dari studi tersebut, dalam sebuah wawancara melalui email.

Berbagai penyebab

Pritchard dan para koleganya, yang meneliti gempa bumi Chili, menduga guncangan seismik telah membuka rekahan (fissures) dan patahan (fractures) yang kemudian memberi jalan keluar bagi cairan hidrotermal yang terpendam dalam gunung api, sama dengan mengguncang sebuah botol soda hingga membuat bagian atasnya terbuka. Begitu cairannya keluar, maka tanahnya terhempas dan terperosok.

Namun kelompok Takada, yang meneliti gempa bumi Jepang, mengira bilik-bilik magma di bawah gunung api terprosok lebih dalam daripada tanah si sekitarnya. Bebatuan panas tersebut lebih lemah dan lebih banyak berubah bentuk sebagai reaksi dari perubahan pada kerak bumi yang disebabkan oleh gempa yang besar.

Data mereka, yang lebih tepat waktu daripada kelompok Chili didapat berkat adanya jaringan monitoring GPS yang padat di Jepang, yang juga menunjukkan gunung-gunung api tersebut terperosok segera setelah gempa bumi terjadi.

Penelitian lebih lanjut akan bisa mengungkap model mana yang benar, atau mungkin keduanya salah, kata Sigurjon Jonsson, seorang ahli geofisika pada King Abdullah University of Science and Technology di Saudi Arabia yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.

“Kedua observasi di Jepang dan Chili tersebut sangat serupa sehingga saya yakin bahwa keduanya  disebabkan oleh mekanisme yang sama (dan boleh jadi lebih dari satu), bukannya dua mekanisme yang berbeda di dua negara yang berbeda,” kata Jonsson dalam sebuah wawancara melalui email.

Kedua tim tersebut berencana meneliti catatan satelit untuk mendapatkan bukti-bukti terperosoknya gunung di masa lampau setelah terjadinya gempa bumi dengan berbagai ukuran, dan mengamati gunung api jika terjadi gempa bumi di masa yang akan datang dan menangkap setiap perubahan yang terjadi.

Studi-studi tersebut menawarkan bukti-bukti lanjutan tentang mengapa sebagian gempa bumi bisa memicu erupsi gunung api dan sebagian lainnya tidak, kata Pritchard.

“Pada dasarnya, sistem gunung api harus handal dan siap menghadapi gempa bumi yang akan membuatnya terperosok,” kata Pritchard. “Jika, kebetulan, tidak ada gunung api yang berada dekat dengan pusat gempa, maka tidak akan ada erupsi gunung api yang dipicu oleh gempa bumi (setelah gempa bumi),” katanya. (Becky Oskin July 1, 2013)

Email Becky Oskin or follow her @beckyoskin. Follow us @OAPlanet, Facebook & Google+. Original article on LiveScience's OurAmazingPlanet.

http://news.yahoo.com/massive-earthquakes-volcanoes-sink-123652503.html

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger