Buku Kumpulan Cerpen "Kitab Hikayat Orang-orang
Yang Berjalan di Atas Air", Muhammad Harya Ramdhoni, Koekoesan April 2012. |
Dengan diterbitkannya novelnya yang berjudul
“Perempuan Penunggang Harimau’ tahun lalu, Muhammad Harya Ramdhoni telah
membuka mata dunia tentang sejarah orang Lampung, khususnya sejarah kerajaan Skala
Bgha, khususnya lagi sejarah masuknya agama Islam di Lampung. Tidak sedikit mata orang Lampung yang baru terbelalak
setelah membaca novel ini. Sebelumnya, mereka tidak tahu apa-apa tentang
sejarah orang Lampung. Meski isi novel tersebut tidak lepas dari unsur fiksi, namun
sebagian besar adalah fakta sejarah yang benar-benar pernah terjadi.
Dalam novelnya tersebut, HMR menjelaskan bahwa
masuknya Islam di Lampung konon dibawa oleh sebuah keluarga yang terdiri dari
ayah dan empat orang anak laki-lakinya—yang kemudian dikenal sebagai paksi pak
(empat kepaksian) di Lampung Barat kini—yang berasal dari Perlak, Aceh sekitar
abad ke-12. Konon keluarga tersebut merupakan keturunan langsung dari Ustman
bin Affan dengan Ruqayah, puteri tertua Nabi Allah (hal. 4).
Penyebaran Islam yang dilakukan oleh keluarga tersebut
tentu bukan dengan cara persuasif semata, melainkan juga dengan kekerasan
senjata. Bisa dibayangkan betapa sulitnya menyebar sebuah ajaran baru pada masa
ketika orang pribumi masih memegang teguh kepercayaan primitif seperti
menyembah berhala dan melakukan ritual yang serba aneh dan tak masuk akal
ketika itu, termasuk menyembelih manusia sebagai sesembahan kepada sang Dewa.
Mungkin bisa disimpulkan, berdasarkan cerita dalam novelnya
HMR tersebut, penyebaran agama Islam di Lampung sama heroiknya dengan
kisah-kisah penyebaran agama Islam di jaman Nabi, meski dengan latar belakang
yang berbeda. Mungkin pula keliru jika dikatakan bahwa Islam ditegakkan dengan
kekuatan senjata. Akan tetapi tidak bisa pula dipungkiri bahwa penyebaran agama
Islam tidak lepas dari peperangan fisik bersenjata yang serba frontal. Dan tidak
bisa dipungkiri pula bahwa peperangan-peperangan tersebut telah menyebabkan
sebuah kaum terbelah, terpecah, berhadap-hadapan sebagai musuh.
Hal ini pulalah yang mengganggu pikiran saya ketika
membaca ‘Perempuan Penunggang Harimau’. Betapa orang Lampung ketika itu terbelah
antara yang pro dengan agama Islam (yang berpihak pada pasukan Syahadat,
seperti yang disebutkan dalam novel tersebut) dan yang kontra (yang berpihak
dan berpegang teguh pada ratu mereka,
ratu kerajaan Skala Bgha, Sekeghumong). Dan ketika perpecahan itu mencapai
puncaknya, sesama orang Lampung (penduduk kerajaan Skala Bgha ketika itu)
berhadap-hadapan sebagai musuh. Meski Sekeghumong ketika itu digambarkan sangat
kejam terhadap rakyatnya, namun dia tetaplah nenek moyang orang Lampung asli,
yang tentu mempunyai ikatan emosional dengan orang Lampung saat ini.
Ikatan emosional seperti inilah yang melatarbelakangi
saya ketika membaca novel ‘Perempuan Penunggang Harimau’ tersebut, yang membuat
saya, mau tidak mau, berpihak pada sang ratu. Mungkin bukan hanya saya yang
mempunyai perasaan seperti ini. Mungkin pula sentimen perpecahan itu masih ada
hingga kini, tersimpan rapi di hati masing-masing orang Lampung pribumi, namun
karena waktu yang terpaut sangat jauh, kini sangat sulit mengidentifikasi pihak
yang satu dengan pihak yang lain. Tapi bagi mereka yang masih menyimpan catatan
tentang itu, tambo, kadang-kadang perpecahan itu terkuak, terungkap, dan tak
jarang menjadi seperti api dalam sekam yang bisa membakar dari dalam, seperti
yang diceritakan HMR dalam cerpennya dalam buku ini yang berjudul Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air. Juga dalam cerpennya lain yang menceritakan tentang sepasang suami istri yang masing-masing berasal
dari keturunan dua pihak yang dulu berhadap-hadapan sebagai musuh itu yang berjudul, Tambo
Kuno dalam Lemari Tua.
Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air, dan Tambo Kuno Dalam Lemari Tua bukan satu-satunya cerpen dalam buku ini yang berlatar belakang sejarah orang Lampung. Ada beberapa cerpen lagi yang semuanya semakin memperkokoh keberadaan HMR sebagai ahli sejarah
orang Lampung, khususnya kerajaan Skala Bgha. Cerpen-cerpen lain tersebut adalah Kitab Nyeghupa, Sesiah Terakhir, Ikhau, dan Riwayat yang Dituturkan Oleh Hembusan Angin
yang sebenarnya adalah ringkasan dari novel ‘Perempuan Penunggang Harimau. Cerpen
lainnya, Firasat Bu Lik Koem, Penembak
Misterius di Seberang Front Kemelak-Sepancar, dan Tentang Seorang Lelaki yang Mati Tertimpa Tembok, adalah cerpen
lain yang sama sekali berbeda latar belakang namun tak kalah menarik.
0 comments:
Post a Comment