Bahasa Lampung, Mungkinkah Punah?

Menurut UNESCO sebanyak 2500 bahasa di dunia, termasuk bahasa-bahasa daerah di Indonesia, kini terancam punah (Lampung Post, 21 Februari 2009). Mungkinkah bahasa Lampung termasuk di dalamnya? Kepunahan bahasa Lampung bukan tidak mungkin terjadi jika dilihat dari tanda-tanda yang ada saat ini.

Sepanjang perjalanan sejarah dunia, sudah ratusan bahasa punah. Kepunahan terakhir terjadi pada bahasa Eyak ( a Na-Dené language) di Alaska dengan meninggalnya penutur terakhir bahasa tersebut Marie Jones Smith, 21 Januari 2008. (en.wikipedia.org) Sedangkan di Indonesia, dari total 726 bahasa daerah yang ada saat ini, 713 di antaranya terancam punah. Dengan kata lain, hanya 13 bahasa daerah di Indonesia yang kelestariannya masih aman, sekurangnya untuk lima tahun ke depan.

Menurut guru besar ilmu bahasa Universitas Indonesia (UI) Multamia Lauder dalam Kongres Bahasa Daerah Indonesia di Bandar Lampung, November 2007, saat ini tercatat hanya 13 bahasa daerah yang penuturnya (orang yang terus menggunakannya) lebih dari 1 juta orang. Ke 13 bahasa daerah itu adalah bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Minangkabau, bahasa Madura, bahasa Bugis, bahasa Makasar, bahasa Batak, bahasa Melayu, bahasa Aceh, bahasa Lampung, bahasa Rejang (Bengkulu), bahasa Sasak, dan bahasa Bali. (okezone.com/12 November 2007). Beruntung, bahasa Lampung termasuk satu dari 13 bahasa tersebut sehingga masih termasuk kategori aman.

Sedangkan menurut ahli bahasa, kalau tidak dilestarikan, bahasa Lampung akan punah dalam tempo lebih kurang 70 tahun mendatang. Oleh karena itu, dilakukan berbagai upaya untuk melestarikan bahasa Lampung dengan membuat Undang-Undang dan Perda, di antaranya, dan yang paling konkret adalah dengan mengajarkan bahasa Lampung di sekolah-sekolah. Masalahnya, upaya pelestarian bahasa Lampung tidak cukup hanya dengan membuat Undang-Undang, Peraturan Daerah dan mengajarkan bahasa tersebut di sekolah. Untuk itu perlu ada tindakan konkret lainnya.

***

Mengapa bahasa bisa punah, karena kebanyakan bahasa yang digunakan di dunia ini tidaklah statis, artinya bahasa-bahasa itu berubah seiring perjalanan waktu, mendapat kata-kata tambahan baru, dan mencuri kata-kata dari bahasa lain. Bahasa hidup dan berkembang ketika masyarakat yang menuturkannya sebagai alat komunikasi utama masih ada. Ketika tidak ada lagi masyarakat penutur aslinya yang masih hidup, suatu bahasa disebut bahasa mati (dead language) atau bahasa punah (extinct language). Bahkan meskipun masih ada sedikit penutur aslinya yang masih hidup, tetapi kebanyakan generasi mudanya tidak lagi menjadi penutur bahasa tersebut, bahasa tersebut bisa disebut punah atau sekarat (moribund). (wisegeek.com).

Sebuah bahasa yang diberi label punah tidaklah berarti bahwa tidak ada seorang pun yang masih hidup yang mampu berbicara bahasa tersebut. Beberapa bahasa punah seperti Latin dan Coptic masih digunakan sebagai bahasa dalam pemujaan, artinya masih ada orang yang mampu menuturkan bahasa tersebut, dan orang masih mempelajari bahasa tersebut di sekolah. Akan tetapi, tidak seorang pun, kecuali mahasiswa bahasa Latin dan Coptic yang akan menghabiskan banyak waktu berkomunikasi dalam bahasa kedua bahasa ini.

Ada banyak situasi yang bisa menyebabkan sebuah bahasa punah. Sebuah bahasa bisa punah ketika bahasa itu berubah bentuk menjadi sebuah bahasa baru atau masuk menjadi famili dari bahasa-bahasa yang lain. Dalam kasus bahasa Latin, bahasa ini dengan cepat bermetamorfosa kedalam bahasa-bahasa Romawi seperti bahasa Perancis, Spanyol, Portugis, Rumania, Italia, dan bahasa-bahasa lain yang berasal dari bahasa Latin. Bahasa Inggris yang ada saat ini berasal dari bahasa Inggris kuno yang sudah punah, Anglo-Saxon, dan dari infusi kata-kata dalam bahasa perancis. Dengan kata lain, bahasa Inggris kuno sudah punah, berganti menjadi bahasa Inggris modern saat ini.

Sebuah bahasa bermetamorfosa itu adalah gejala yang wajar selama manusia masih bergerak dinamis, masih berinteraksi satu sama lain, dan masih memiliki ketergantungan satu sama lain. Kalau kita perhatikan, bahasa Melayu di surat khabar-surat khabar Indonesia pada awal abad 20 sangat berbeda dengan bahasa Indonesia saat ini. Orang Indonesia saat ini boleh jadi tidak mengerti bahasa Melayu yang digunakan di Indonesia pada awal abad 20. Karena bahasa Indonesia saat ini berasal dari bahasa Melayu yang telah mengalami perubahan drastis, membentuk kata-kata baru, dan mengalami infusi dari kata-kata bahasa asing, maka bisa dikatakan bahasa Melayu bermetamorfosa ke dalam bahasa Indonesia. Kelak, kalau bahasa Indonesia semakin berkembang dan demikian pula bahasa Malaysia, maka kemungkinan bahasa Melayu akan punah.

Bahasa Inggris pun demikian; bahasa Inggris saat ini tidak sama dengan bahasa Inggris tiga atau empat abad lalu. Dan boleh jadi, bahasa Inggris abad 22 mendatang akan berbeda pula dengan bahasa Inggris saat ini, sehingga bahasa Inggris abad pertengahan seperti jamannya Shakespeare akan punah, berganti dengan bahasa Inggris yang baru lagi.

***

Sebuah bahasa punah karena bermetamorfosa adalah wajar, dalam arti kepunahan itu terjadi secara alami, tidak disengaja atau dengan kesadaran dan tidak terhindari. Tetapi jika sebuah bahasa punah secara disengaja atau dengan kesadaran, atau karena penuturnya ingin memunahkan bahasa tersebut, hal ini sangat tidak wajar dan sangat disayangkan.

Akan halnya bahasa Lampung, gejala akan punah itu sudah tampak nyata, bukan karena bermetamorfosa melainkan secara disengaja dan dengan kesadaran penuh oleh penuturnya. Gejala itu ditandai dengan kurangnya kesadaran penuturnya untuk melestarikan bahasa tersebut. Dan tidak adanya kebanggaan akan sebuah identitas yang berbau etnis.

Di mana-mana, di daerah yang penduduknya pribumi Lampung yang dulu berbahasa Lampung sebagai alat komunikasi utama antarsesama, kini perlahan berubah menggunakan bahasa Indonesia. Bukan hanya dengan orang non-Lampung, kini sesama orang Lampung pun sudah berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Hal ini dipelopori oleh anak muda, yang konon karena gengsi, malu berbahasa Lampung.

Celakanya, hal ini diamini pula oleh kaum setengah baya. Saat ini terjadi semacam gerakan “Malu Berbahasa Lampung” di kalangan orang Lampung sendiri, terutama oleh mereka yang merasa tinggal di daerah perkotaan, meskipun hanya kota kecamatan. Anggota gerakan ini sudah menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari, baik di lingkungan masyarakat maupun dalam lingkungan keluarga. Keluarga yang dulu berbahasa Lampung tutok berubah menjadi menggunakan bahasa Indonesia. Kini tak ada lagi kata nyak dan niku karena sudah berubah menjadi lu dan gua.

Di Lampung Barat, terutama di kota kecamatan, kini keluarga muda, terpelajar atau tidak terpelajar, rata-rata menggunakan bahasa Indonesia untuk berekomunikasi sehar-hari dengan anak-anak mereka. Penggunaan bahasa Indonesia ini mereka tanamkan sejak anak-anak mereka lahir, sehingga bahasa pertama anak-anak mereka adalah bahasa Indonesia. Dan jika kemudian mereka pindah ke kota besar, maka kemungkinan anak-anak mereka tidak akan bisa berbahasa Lampung sama sekali. Ironis sekali kalau mengingat mereka adalah orang Lampung yang berasal dari Lampung Barat.

Jika hal ini berlangsung terus menerus tanpa ada upaya untuk mencegahnya, maka bisa dipastikan bahasa Lampung akan punah. Karena pengaruh gerakan “Malu Berbahasa Lampung” ini cepat sekali. Sekarang baru kota-kota kecamatan yang terkena. Di masa yang akan datang bukan tidak mungkin akan sampai pada pelosok-pelosok desa di daerah-derah terpencil sekalipun.

Untuk mencegah punahnya bahasa Lampung diperlukan sebuah tindakan konkret yang bukan hanya sekadar Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Misalnya dengan menciptakan gerakan “Bangga Berbahasa Lampung” dimulai dengan mewajibkan PNS dan pejabat berbahasa Lampung dalam dinas dan—selain menunjukkan tanda lunas PBB-- dengan mewajibkan penggunaan bahasa Lampung di setiap sektor layanan publik sehari-hari.***

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger